Rangkuman Teori Sosiologi Klasik
TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Teori Sosiologi Klasik
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Farida Hanum M,Si
Oleh:
RETNO WAHYUNINGSIH
12413241026
RETNO WAHYUNINGSIH
12413241026
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sesuai waktu yang telah direncanakan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Penyusunan makalah ini merupakan tugas matakuliah Teori Sosiologi Klasik di semester 3 tahun akademik 2013/2014.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum M,Si selaku dosen pembimbing matakuliah ini.
2. Terimakasih peneliti ucapkan kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyusunan makalah ini.
3. Ucapan terima kasih peneliti kepada semua sahabat yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan serta motivasi sehingga makalah ini dapat terselesasikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Yogyakarta, 9 November 2013
BAB I
AUGUSTE COMTE
AUGUSTE COMTE
August Comte (1798-1857) lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Intelektual yang memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte ini dalam dunia pendidikan dikenal sebagai Bapak Sosiologi, selain itu dia dikenal juga sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Buku-buku karyanya antara lain:
1. A Course of Positive Philosophy (1830-1862)
2. A General view of Positivism (1848)
3. Subjective Synthetis (1856)
B. Latar Belakang Pemikiran Comte
Ada beberapa sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan pikiran August Comte, yaitu:
1. Revolusi perancis yaitu pada masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientifik.
2. Aliran reaksioner, dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah–masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan.
3. Sumber terakhir yang melatarbelakangi pemikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Sain–Simont. Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian dasar–dasar aliran masih tetap dianutnya terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat scientific.
C. Social Dinamic dan Social Statics
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic.
1. Social Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat, karena social dinamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.
a. The Law Of Three Stage
Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus-menerus, namun perkembangan umum dari masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus. Comte mengajukan tentang tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori evolusi atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
· Tahap Teologis/gaib
Ø Fetisysme (menganggap semua benda bernyawa)
Ø Politeisme (menggangap hanya sebagian benda yg bernyawa)
Ø Monoteis (mengakui adanya Tuhan)
· Tahap Metavisis/hukum alam
Dalam tahap ini belum mampu membuktikan gejala hanya mampu berfikir. Sudah terjadi pendelegasian wewenang namun belum formal dan terstruktur. Sudah membentuk organisasi sesuai dengan ahlinya.
· Tahap Positivis/mampu membuktikan
Dalam tahap ini sudah mampu berfikir dan membuktikan suatu gejala dengan ilmu pengetahuan. Sudah terjadi pendelegasian wewenang secara rinci dan formal. Persatuan bersifat universal.
b. The Law Of The Hierarchie Of The Sciencies
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya. Sehingga sering kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat theologies didalam melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
c. The Law Of The Correlation Of Practical Activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir yang teologis dengan militerisme. Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama lain. Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.
d. The Law Of The Correlation Of The Feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal.
2. Social Statics
Fungsi social static dimaksudkan sebagai suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static terdapat empat doktrin, yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Auguste Comte membagi masyarakat atas dua bagian utama yaitu model masyarakat statis (sosial statics) yang menggambarkan struktur sosial kelembagaan masyarakat dan prinsip perubahan sosial yang meliputi sifat-sifat sosial (agama seni, keluarga, kekayaan, dan organisasi sosial), dan sifat kemanusian (naluri emosi, perilaku, dan inteligensi).
BAB II
HERBERT SPENCER
HERBERT SPENCER
A. Biografi Singkat
Herbert Spencer adalah seorang bangsawan Inggris yang dilahirkan dari keluarga pembangkang(nonconformist dissenter). Spencer menerima pendidikan klasik dirumahnya dan bekerja sebagai seorang juru gambar, kemudian menjadi editor pada majalah “The Economist”. Pandangan Spencer tentang masyarakat tampaknya dipengaruhi oleh Revolusi Industri dan ekspansi ekonomi, dari perspektif teori evolusi Darwin. Teorinya sangat banyak berhubungan dengan tipe evolusi organik, seperti halnya teori Comte tentang pembagian masyarakat menjadi masyarakat statis dan dinamis. Karya-karya utama Spencer antaranya:
1. Sosial Statics (1850)
2. First Principle (1862)
3. The Study of Sociology (1873)
Perhatian utama Spencer adalah melacak atau menemukan proses evolusi sosial melalui masyarakat secara historis dan sosiologis. Dalam penerapan prinsip-prinsip evolusi biologis terhadap masyarakat merupakan sesuatu yang tidak begitu mengejutkan. Dengan demikian, analogi organik yang diterapkan pada masyarakat secara langsung dalam kerangka evolusi. Memahami evolusi organik seperti ini menjadi penting untuk kontrol yang lebih besar terhadap masyarakat yang mengakibatkan korelasi yang lebih dekat antara kebutuhan-kebutuhan individual dan masyarakat. Seperti juga Comte, Spencer juga menjelaskan tentang teori organik, evolusi, dan dasar-dasar teori praktis kemasyarakatan yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tertinggi.
Dalam hal sosiologi, Spencer memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan dan perkembangan yang utuh, menggambarkan lebih dari sejumlah bagiannya dan bukunya subjek yang menghilangkan bagian-bagian itu. Hubungan-hubungannya sama dengan hubungan-hubungan fungsional dan menopang dalam organisme biologis. Dalam hal ini, Spencer merupakan seorang pelopor dari paham fungsionalis strukturalis kontemporer.
B. Pemikiran Spencer Mengenai Evolusi Masyarakat
Di waktu spencer belajar tentang gagasan Darwin ia bertekad untuk mengenakan prinsip evolusi yang tidak hanya pada bidang biologi, melainkan pada semua bidang pengetahuan lainnya. Proses evolusi masyarakat berawal dari perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul first principles (1862) ia mengatakan bahwa kita harus bertitik tolak dari The low of the persistence of force yaitu perinsip ketahanan kekuatan. Artinya siapa yang kuat dialah yang menang dalam masyarakat. Teori spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang lebih umum mengenai evolusi seluruh jagat raya. Dalam bukunya social statics masyarakat disamakan dengan suatu organisme. Maksud spencer mengatakan bahwa masyarakat adalah organisme itu, dalam arti positivistis dan deterministis. Semua gejala social diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses pertumbuhan fisik badan manusia, memerintah juga atas proses evolusi social.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a. Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah.
b. Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c. Tahap pembagian atau diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d. Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.
C. Perbedaan Masyarakat Militant Versi Industrial
Spencer juga membuat pengelompokan tipe-tipe masyarakat berdasarkan ciri-ciri mereka. Ia membedakan antara dua bentuk kehidupan bersama, yakni masyarakat militaristis dan masyarakat industry. Dalam masyarakat militaristis orang bersikap agresif, Mereka lebih suka merampas saja daripada bekerja produktif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepemimpinan atas tipe masyarakat ini berada ditangan orang yang kuat dan mahir di bidang peperangan atau pertempuran. Ia mempertahankan kekuasaanya dengan tangan besi, senjata dan melalui takhayul.
Masyarakat industry adalah masyarakat dimana kerja produktif dengan cara damai diutamakan di atas ekspedisi-ekspedisi perang. Spencer memakai kata “industry” bukan untuk tekhnologi melainkan dalam arti kerja sama spontan bebas demi tujuan daamai. Cirri-cirinya adalah demokrasi, adanya kontrak kerja yang mengganti sistem budak, liberalisme dalam hal memilih agama, ada otonomi individu. Spencer berpendapat bahwa evolusi masyarakat industry ada kaitanya dengan sel-sel kelamin manusia yang sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan peningkatan mutu. Menurut hemat spencer, kedua tipe masyarakat bertentangan satu terhadap yang lain dalam arti bahwa mereka saling menolak. Dengan teori ini Spencer menjadi penyambung lidahzaman yang amat optimism terhadap iktikad baik individu. Dalam bukunya The Man Versus the state Spencer menarik beberapa kesimpulan dari thesisnya, bahwa masyarakat industry harus di lihat sebagai pembebasan manusia dari cengkeraman Negara dan agama, yang kedua-duanya bersifat absolutistis.
D. Pemikiran tentang nir-intervensi dan survival of the fittest
Pada tahun 1850 Herbert Spencer mengenalkan Survival of The Fittest dalam buku Sosial Static, dia yakin bahwa kekuatan power hidup manusia adalah sarana untul menghadapi ujian hidup serta menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan social maupun fisik. Seleksi alam ‘yang kuatlah yang menang’ menjadi prasyaarat manusia menuju puncak kesempurnaan dan kebahagiaan.
Survival oh The Fittest merupakan istilah yang digunakan oleh Spencer untuk menunjuk pada perubahan yang terjadi di dalam dunia sosial. Dalam hal ini ungkapan tersebut sebenarnya digunakan untuk menunjuk pada proses seleksi alam, akan tetapi Spencer menerima pandangan seleksi alam juga terjadi di dalam dunia social. Spencer menerima pandangan ini karena ia merupakan seorang Darwinis sosial. Jadi ia meyakini pandangan evolusi bahwa dunia tumbuh semakin baik. Dengan demikian, dunia harus dibiarkan begitu saja; campur tangan pihak luar akan memperburuk situasi ini. Jadi jika tidak dihambat oleh intervensi eksternal, orang yang kuat akan bertahan hidup dan berkembang biak, sementara yang lemah pada akhirnya akan punah.
Darwinisme sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia. Individu menjadi poros utama perubahan. Meski masyarakat dapat dianalisis secara struktural, namun individu pribadi adalah dasar dari struktur social, karena Spencer memandang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai hakikat manusia secara inkoporatif. Struktur social dibangun untuk memenuhi keperluan anggotanya. Teori Spencer mengedepankan perjuangan hidup dan karenanya sangat cocok dengan perkembangan kapitalisme, liberalisme, dan individualisme.
BAB III
EMILE DURKHEIM
EMILE DURKHEIM
A. Biografi Singkat
Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya. Pada usia 21 tahun, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Di masa mudanya, Durkheim menginginkan satu dasar yang lebih teliti dalam ilmu yang dia rasa dapat membantu memberikan satu landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris.
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik Ketiga selagi dia masih muda. Durkheim lebih tertarik untuk berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial yang baru. Dia melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi dia juga optimistis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan sosial yang sedang muncul itu.
Perhatian Durkheim terhadap moralitas umum terjadi bersamaan dengan masa peralihan dalam sistem pendidikan di Prancis. Durkheim memandang pengajaran moralitas umum bagi warga di masa mendatang dalam tahun-tahun pembentukannya merupakan hal yang sangat penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan integrasi serta solidaritas sosialnya.
B. Konsep Fakta Sosial
1. Pengertian
Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun. Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun esti dipelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah Latin sui generis, yang berarti “unik”
Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukkan bahasa sebagai fakta sosial dan menjadikannya sebagai contoh yang paling mudah dipahami, karena bahasa adalah sesuatu yang mesti dipelajari secara empiris, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu, bahasa memaksa individu, dan perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
2. Tipe-tipe Fakta Sosial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial, yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material seringkali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial. Jenis fakta sosial nonmaterial yaitu:
a. Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.
b. Kesadaran kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”. Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adlah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
c. Representatif kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d. Arus sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e. Pikiran kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
3. Karakeristik Fakta Sosial
Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda, yaitu :
a. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu
Hampir setiap orang telah mengalami hidup dalam satu situasi sosial baru, mungkin sebagai anggota baru dari satu organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedan di amati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
b. Fakta itu memaksa individu
Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosia dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang ia katakana bahwa tipe-tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauannya sendiri.
c. Fakta itu bersifat umum
Fakta tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Fakta sosial ini benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
C. Integrasi dan Solidaritas Sosial
Durkheim hidup dimasa industrialisasi, dimana pembagian kerja meningkat secara pesat. Peningkatan ini terjadi baik didalam bidang ekonomi, politik, administratif, hukum, bahkan didalam ilmu pengetahuan. Dan ini tampak didaerah-daerah perkotaan yang dengan jelas memperlihatkan peningkatan kompleksitas dan spesialisasi pekerjaan. Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan ini hingga kaitannya dengan tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan hubungan yang kuat diantara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan bahwa struktur pembagian kerja disuatu masyarakat akan memebentuk corak solidaritas sosial yang khas dari masyarakat itu.
Menurut Durkheim, perbedaan-perbedaan mendasar diantara masyarakat dengan tingkat pembagian kerja rendah dan masyarakat dengan tingkat pembagian kerja tinggi yaitu:
1. Anggota-anggota masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terikat satu sama lain atas dasar kesamaan emosional dan kepercayaan, serta adanya komitmen moral. Ikatan ini disebut sebagai solidaritas mekanik.
2. Berkaitan dengan hal ini, solidaritas sosial di masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah dilandaskan pada kesadaran kolektif yang kuat.
3. Sementara itu, masyarakat yang memiliki pembagian kerja yang tinggi, homogenitas tak lagi menjadi pinsip untuk mempertahankan kesatuan masyarakat.
Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama. Solidaritas ini merupakan bentuk yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut pemikiran normatif yang sama pula. Menurut Durkheim, indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan atau repressive.
Maksud dari hukum ini adalah apabila terdapat suatu kesalahan yang dilakukan oleh anggotanya, maka kesalahan tersebut dianggap sebagai perbuatan jahat dan sanksi yang dapat diterima tidak bersifat rasional dan kemarahan kolektif dari anggota lainnya. Ciri khas lain dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas tersebut hanya memungkinkan adanya pembagian kerja yang sangat minim.
Solidaritas Organik
Solidaritas organik muncul karena adanya pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, ketergantungan ini bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan atau restitutive yakni yang berfungsi mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalm masyarakat. Oleh karena itu, hukum ini bukan bersifat balas dendam dan bersifat rasional bukan berdasarkan kemarahan dari anggota kelompok yang lain terhadap penyimpang.
D. Pemahaman Durkheim terhadap Sosiologi Agama
Durkheim menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Masyarakat melalui individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang dianggap sakral inilah yaitu suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang lainnya dianggap profan atau tempat umum yaitu suatu yang bisa dipakai sebagai aspek kehidupan duniawi. Disatu pihak, sakral melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggungjwab. Dilain pihak, sikap terhadap fenomena inilah yang membuatnya dari profan menjadi sakral. Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis masyarakat menubuh kedalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya. Inilah satu-satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama, akan tetapi masing-masing kepercayaan tersebut berbeda satu sama lain. Dengan kata lain masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri.
Arti agama yang mulai menurun dalam masyarakat-masyarakat kontemporer merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang makin menurun. Dengan demikian, segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama sedikitpun tidak mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dengan masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu-waktu lain. Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus mengalah kepada bentuk-bentuk sosial baru yang telah dilahirkanya.
E. Analisis Durkheim terhadap Fenomena Bunuh Diri
Karya besar Durkheim mengenai bunuh diri ini merupakan usaha beliau untuk menguji pandangannya tentang fakta sosial. Durkheim mendefinisikan “bunuh diri” sebagai: “…semua kasus kematian yang disebabkan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh tindakan positif maupun negatif pelakunya. Dan sang pelaku tahu bahwa tindakan ini akan menyebabkan kematiannya”.
Tipe-tipe Bunuh Diri menurut Durkheim:
1. Egoistic Suicide
Kepentingan dirinya lebih besar daripada kepentingan kesatuan, mereka merasa tidak bisa menjalankan peran yang diinginkan.
2. Anomic Suicide
Aturan/norma sudah tidak jelas dan tidak berjalan sebagaimana mestinya (kehilangan arah)
3. Alturistic Suicide
Kepentingan kesatuan lebih tinggi daripada kepentingan dirinya (individu)
4. Fatalis Sucide
Tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan.
BAB IV
MAX WEBER
MAX WEBER
A. Biografi Singkat
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Selain itu, Weber senior adalah sesorang yang menikmati dunia, dan di dalam banyak hal, ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Weber adalah seorang Calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan dalam oleh suaminya.
Pada tahun 1904 dan 1905, ia menerbitkan salah satu karya terkenalnya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism. Dalam karya ini Weber menyatakan kesalehan sang ibu yang diwarisinya pada level akademik. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelejari agama, kendati secara pribadi ia tidak religius. Pada tahun 1904 weber mampu menghasilkan beberapa karya pentingnya. Pada tahun-tahun itu Weber menerbitkan studinya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya China, India dan Yahudi kuno). Ketika ia meninggal (14 juni 1920) ia tengah mengerjakan karya terpentingnya Econami and society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan kedalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai.
B. Idealisme Historisisme Jerman
Warisan idealisme historisisme Jerman pada disiplin sosiologi akan menempatkan Max Weber sebagai pencetus utamanya. Sebagai salah satu pemikir utama bidang sosiolgi yang berasal dari Jerman, Weber mewariskan idealisme historisisme melalui pemikirannya sebagai seorang sosiolog historis. Pandangan ini membawa kembali pada awal mula pembahasan Weber akan hubungan sejarah dengan sosiologi. Meskipun ia seorang mahasiswa hukum, karier awalnya didominasi oleh minat pada bidang sejarah yang terwujud pada karya disertasi doktoralnya yaitu studi historis tentang Zaman Pertengahan dan Romawi. Lambat laun ia beralih ke sosiologi sampai pada tahun 1909 Weber mulai menulis karya besarnya, Economy and Society.
Weber berusaha mengklarifikasi bidang barunya itu dengan menjembatani antara sejarah dengan sosiologi sebagai dasar kajian pada bidang sosiologi sendiri. Hal ini seperti tertuang dalam pandangan hematnya bahwa sosiologi bertugas melayani sejarah. Weber menjelaskan perbedaan antara sosiologi dengan sejarah: “Sosiologi berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris. Ini berbeda dengan sejarah, yang berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural”. Meskipun membuat perbedaan, Weber mampu mengkombinasikan keduanya untuk membuat sosiologinya berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga ia dapat melakukan analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Weber mendefinisikan prosedur idealnya sebagai “perubahan pasti peristiwa-peristiwa konkret individual yang terjadi dalam realitas sejarah menjadi sebab-sebab konkret yang ada secara historis melalui studi tentang data empiris pasti yang telah diseleksi dari sudut pandang spesifik”. Prosedur ideal inilah yang menjadi sebuah idealisme historis Jerman yang dicetuskan dan dikaji oleh Max Weber sendiri sebagai dasar studi sosiologisnya dan diwariskan pada studi-studi sosiologi dunia.
C. Pemikiran Weber tentang Kelas, Status, dan Kekuasaan
Konsep kelas merujuk pada sekelompok orang yang ditemukan pada situasi kelas yang sama. Jadi bukanlah komunitas, melainkan sekedar kelompok orang yang berada dalam situasi yang sama. Kelas hadir dalam tatanan ekonomi.
Weber mendefinisikan 3 syarat munculnya situasi kelas:
1. Sejumlah individu memiliki kesamaan komponen kausal spesifik peluang hidup mereka.
2. Komponen ini hanya direpresentasikan oleh kepentingan ekonomi (penguasaan barang, peluang memperoleh pendapatan).
3. Direpresentasikan menurut syarat-syarat komoditas atau pasar tenaga kerja.
Status merujuk pada komunitas, kelompok status biasanya berupa komunitas. Weber mendefinisikan bahwa status adalah “Setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif”. sudah jadi semacam patokan umum kalau status dikaitkan dengan gaya hidup, (status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi). Mereka yang berada dipuncak hierarki status memiliki gaya hidup berbeda dengan yang ada dibawah. Dalam hal ini gaya hidup atau status terkait dengan situasi kelas. Namun kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain. Status hadir dalam tatanan sosial. “uang dan kedudukan kewirausahaan bukan merupakan kualifikasi status, kendati keduanya dapat mengarah kepadanya dan ketiadaan harta benda tidak dengan sendirinya membuat status jadi melorot, meskipun tetap dapat menjadi alasan bagi penurunan tersebut”.
Kekuasaan hadir dalam tatanan politik. Bagi Weber kekuasaan “selalu merupakan struktur yang berjuang untuk meraih dominasi”. Jadi, partai adalah elemen paling teratur dalam sistem stratifikasi Weber. Weber menganggap partai begitu luas sehingga tidak hanya mencakup hal-hal yang ada dalam negara namun juga yang ada dalam klub sosial. Apapun yang ditampilkannya, partai berorientasi pada diraihnya kekuasaan. Meskipun Weber kritis terhadap kapitalisme modern tetapi ia tidak mendukung revolusi. Ia ingin mengubah masyarakat secara gradual , bukan menghancurkannya. Ia tidak terlalu yakin dengan kemampuan massa untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Sejalan dengan pemikirannya tentang politik agung, lahir nasionalismenya yang teguh. Ia menempatkan bangsa diatas lainnya : “kepentingan vital negara, tentu saja berada diatas demokrasi dan parlementarisme”. Weber memilih demokrasi sebagai bentuk politik bukan karena ia percaya pada massa namun karena demokrasi menawarkan dinamika maksimal dan merupakan mileu terbaik untuk menciptakan pemimpin politik. Weber mencatat bahwa struktur otoritas hadir di setiap institusi sosial, dan pandangan politiknya terkait dengan analisis struktur .
D. Rasionalitas dan Tindakan Sosial
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok yang diberikan adalah mengenai tindakan rasional dan nonrasional. Tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Didalam dua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1. Tindakan Rasional
a. Tindakan Instrumental (zweckkrationalitat)
Merupakan tingkat rasional yang paling tinggi. Meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Hal ini mungkin mencakup pengumpulan informasi, mencatat kemungkinan-kemungkinan serta hambatan-hambatan yang terdapat dalam lingkungan, dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan , orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Weber menjelaskan :
Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifat sendiri (zweckratinational) apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu., pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif.
b. Rasionalitas yang berorientasi nila (wertrationalitat)
Jika dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, maka sifat rasionalitas yang beorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat yang hanya merupakan objek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Komitmen terhadap nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility, efisiensi dan sebagainya tidak relevan. Individu mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada.
Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Orang yang beragama mungkin menilai pengalaman subyektif mengenai kehadiran Tuhan bersamanya atau perasaan damai dalam hati atau dengan manusia, seluruhnya merupakan nilai akhir dimana dalam perbandingannya nilai-nilai lain menjadi tidak penting. Nilainya sudah ada, individu memilih alat seperti meditasi, doa, menghadiri upacara di gereja.
Weber membagi rasionalitas menjadi dua jenis, yaitu rasionalitas sarana tujuan dan rasionalitas nilai. Namun konsep-konsep tersebut merujuk pada tipe tindakan. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi, perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, institusi, organisasi strata, kelas dan kelompok. Weber membedakan hal tersebut menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Rasionalitas praktis
Rasionalitas teoretis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak seperti deduksi logis, induksi, atribusi kausalitas dan semacamnya. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis mendorong pelaku untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak memengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.
b. Rasionalitas Teoretis
Rasionalitas teoretis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak seperti deduksi logis, induksi, atribusi kausalitas dan semacamnya. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis mendorong pelaku untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak memengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.
c. Rasionalitas Subtansif
Rasionalitas substantif secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas subtantif melibatkan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sistem nilai ( secara subtantif) tidak lebih rasional daripada sistem lainnya.
2. Tindakan Nonrasional
a. Tindakan Tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan menjadi tindakan tradisional. Individu tersebut akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara sepertitau perilaku itu merupakan kebiasaan baginya.
b. Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandain oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan seperti itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.
E. Hubungan Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
F. Konsep Verstehen
Menurut Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab–sebab tindakan tersebut. Dengan demikian, yang menjadi inti dari sosiologi adalah arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif. Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan disebutnya sebagai Verstehende Sociologie. verstehen merupakan kata dari bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber digunakan dalam penelitian historis terhadap metodologi sosiologi kontemporer yang paling banyak dikenal dan paling controversial. Kontroversi sekitar konsep verstehen dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi terkait dengan konsep verstehenadalah bahwa verstehen hanya dipahami sekedar sebagai ‘intuisi’ oleh peneliti. Banyak kritikus melihatnya sebagai metodologi riset yang yang ‘lunak, irassional, dan subjektif’. Namun, secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, simpati, atau empati.
Beragam penafsiran atas verstehen sejatinya membantu kita untuk memahami mengapa Weber begitu penting dalam sosiologi. Namun, karena ada berbagai perbedaan penafsiran tentang verstehen maka perspektif teoritis yang mempengaruhinya pun berlainan.
Sedangkan seharusnya kita dapat menarik kesimpulan tentang verstehen berdasarkan karya Weber. Karya utamanya adalah bukan merupakan pernyataan programatis tentang metodologi, melainkan karya yang yang seharusnya kita pandang sebagai informasi paling dapat diandalkan perihal apa yang dimaksud Weber dengan verstehen dan perangkat metodologis lainnya. Seperti kita ketahui bahwa frocus Weber pada konteks budaya dan sosio-struktural dari tindakan membawa kita pada pandangan bahwa verstehen adalah alat bagi analisis fenomena sosial level makro.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Label:
Materi kuliah,
sekitarku