Politik Multikulturalisme


POLITIK MULTIKULTURALISME

Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Masyarakat Multikultural

Dosen Pembimbing : Nur Hidayah, M.Si






Oleh:
1. Eka Sari 12413241025

2. Retno Wahyuningsih 12413241026

3. Zaky Mubarok 12413241040

4. Eka Febrianti 12413241041

5. Danty Praharsiwi 12413241051





JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sesuai waktu yang telah direncanakan.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyusunan makalah ini merupakan tugas matakuliah Masyarakat Multikulturalisme di semester 3 tahun akademik 2013/2014.

Dalam penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada :

1. Ibu Nur Hidayah, M.Si selaku dosen pembimbing matakuliah ini.

2. Terimakasih peneliti ucapkan kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyusunan makalah ini.

3. Ucapan terima kasih peneliti kepada semua sahabat yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan serta motivasi sehingga makalah ini dapat terselesasikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.



Yogyakarta, 25 September 2013





DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................................ iii
.
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1

C. Tujuan............................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Politik Multikulturalisme..................................................................................................... 2

B. Politik Multikulturalisme di Indonesia.................................................................................. 4

BAB III PENUTUP

A. Simpulan........................................................................................................................... 6

Daftar Pustaka....................................................................................................................... 7







BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara heterogen yang memiliki ras, suku bangsa, dan bahasa yang beragam, maka dari itu masyarakatnya pun hidup dalam budaya yang plural. Namun dari sisi lain negeri dan bangsa ini adalah satu, diikat dengan suatu idealisme sehingga mereka bersatu. Sejarah telah membuktikan segenap warga pernah bersatu dalam semangat perjuangan ingin terlepas dari penjajahan, mereka ingin membangun suatu negara yang berdaulat. Para perintis telah bersumpah menggalang persatuan, terutama dalam bahasa, bangsa, dan tanah air. Idealisme yang kuat untuk persatuan dan kesatuan bangsa terkadang mendorong pengambil kebijakan mengabaikan keragaman dan menekan keanekaan. Di sisi lain, ada pihak-pihak yang terlalu memfokuskan perbedaan, hingga ingin lepas dari ikatan ke-Indonesia-an. Problema dilematis inilah yang harus dijawab negara dan bangsa ini. Menundanya hanya akan menambah daya ledaknya dikemudian hari. Salah satu cara untuk mempersatukan masyakat Indonesia yang beragam ini salah satunya adalah dengan cara penerapan politik multikulturalisme. Untuk itu kami akan membahas dalam makalah ini mengenai apa yang dimaksud dengan politik multikulturalisme dan bagaimana politik ini terjadi di Indonesia.

B.Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan politik multikulturalisme?

2. Bagaimana politik multikulturalisme yang terjadi di Indonesia?



C. Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan politik multikulturalisme.

2. Untuk mengetahui politik multikulturalisme yang terjadi di Indonesia.






BAB II

PEMBAHASAN

A. Politik Multikulturalisme

Agar mempermudah kita untuk mempelajari politik multikiulturalisme marilah kita ulas sedikit tentang masyarakat multikultur dan multikulturalisme itu sendiri.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memahami keberagaman dalam kehidupan di dunia dan menerima adanya keragaman tersebut, seperti: nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Dan bisa dibedakan pula dengan pengertian majemuk yang artinya terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya berwarna-warni.

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau paham. Singkatnya, multikulturalisme adalah sebuah ideologi (pandangan) yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan atas perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan, dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

POLITIK MULTIKULTURALISME adalah suatu sistem pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok tersebut haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada. Kelompok disini diartikan sebagai kelompok agama, sukubangsa, budaya,dsb.

Selama ini parlemen hanya terdiri dari perwakilan propinsi yang telah memenangkan pemilu legislatif. Kabinet eksekutif pemerintahan pun hanya merupakan hasil kompromi politik dari partai-partai politik besar. Dalam kondisi ini kepentingan dan pemikiran yang berkembang dari kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh Indonesia seringkali tidak mendapatkan ruang untuk didengar. Padahal kehadiran jutaan kelompok identitas partikular di seluruh Indonesia sangat menentukan jati diri bangsa secara keseluruhan.

Jika parlemen dan kabinet tidak memberi ruang bagi perwakilan setiap kelompok identitas partikular, maka demokrasi akan tersumbat. Kepentingan dan pemikiran mereka yang unik seturut dengan kulturnya tidak akan terdengar. Identitas kelompok mereka akhirnya terancam musnah. Jika kelompok-kelompok identitas partikular di Indonesia musnah, maka potensi kekayaan budaya bangsa akan musnah. Indonesia dapat terjatuh kembali menjadi negara totaliter.

Keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme memungkinkan setiap kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mendapatkan pengakuan yang selayaknya. Adanya pengakuan terhadap keberadaan kelompok identitas partikular merupakan awal perkembangan identitas nasional bangsa Indonesia yang multikultur. Pengakuan merupakan syarat eksistensi suatu kelompok ataupun individu. Identitas kelompok partikular bisa berkembang secara dialogal dengan identitas kelompok lainnya, jika pengakuan sudah diberikan.

Prinsip dasar yang harus dijadikan acuan adalah, bahwa setiap kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri. Setiap orang ataupun kelompok berhak hidup seturut dengan kultur yang mereka yakini secara otentik. Pemerintahan multikultural adalah cerminan dari masyarakat Indonesia yang juga multikultur. Pemerintahan multikultural bisa menjamin otentisitas kehidupan dari individu ataupun kelompok yang dipimpinnya. Di dalam masyarakat yang otentik, potensi konflik sosial antar kelompok sangatlah kecil. Kekerasan di dalam masyarakat pun bisa dikurangi.

Menurut Kymlicka (Haryatmoko, 2009) arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah :”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.

Sasaran politik multikulturalisme :

1. Membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas.

2. Membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus.

3. Mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi.

4. Penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik.

Jika parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif) memberikan tempat yang memadai untuk setiap kelompok identitas partikular, maka kompromi politik yang terjadi adalah kompromi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, karena setiap kelompok identitas partikular hanya bisa berkembang dalam relasi dengan kelompok identitas partikular lainnya. Inilah inti dari politik multikulturalisme. Kesejahteraan bersama hanya dapat tercipta, jika setiap kelompok identitas partikular memperjuangkan kepentingannya dalam relasi dialogal dengan kelompok identitas partikular lainnya. Para politikus dan akademisi bisa mulai melihat kemungkinan terwujudnya politik multikulturalisme di Indonesia.

B. Politik Multikulturalisme di Indonesia

Di Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang diperbincangkan banyak orang ketika mantan presiden Gus Dur menjabat. Mantan Presiden Republik Indonesia yang kini sudah meninggal dunia, merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Beliau mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahan Gus Dur.

Tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengaku anak anadanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya. Hal tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Gus Dur menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau menghayati dan mempraktekan toleransi positif-maksimal yaitu membela kelompok mana saja termasuk khususnya minoritas yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik dan seterusnya.

Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang muslim yang baik dan taat.

Sikap menghargai terhadap perbedaan yang ada di negara Indonesia ini yang dicontohkan oleh Gus Dur, merupakan cermin bagi kita semua bahwa perbedaan baik dalam segala hal pun bukan merupakan hambatan namun justru sebagai alat pemersatu dan pelengkap satu sama lain.Multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia justru akan menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri dalam keragaman yang unik.



BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Politik multikulturalisme adalah suatu sistem pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok tersebut haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada. Kelompok disini diartikan sebagai kelompok agama, sukubangsa, budaya,dsb.

Contoh politik multikulturalisme yang terjadi di Indonesia adalah ketika mantan presiden Gus Dur yang kini sudah meninggal dunia, mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahan Gus Dur. Beliau merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

http://rumahfilsafat.com/2009/11/29/politik-multikulturalisme/

diakses pada Selasa, 24 September 2013 pukul 20.02 WIB

Hidayat bernandus. 2007. Politik Multikultural. Yogyakarta: impulse-kanisuis.






1 komentar:

MorukLand 11 Maret 2014 pukul 20.34  

budaya nakorba itu membuat orangmasuk dalam situasi tanggung... tidak tahu harus berpegang pada apa dan mau kemana? ga jelas..

Posting Komentar

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital