“JOHN J. MACIONIS”



STRATIFIKASI SOSIAL 
“JOHN J. MACIONIS” 


Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Struktur dan Proses Sosial 

Dosen Pengampu: Poerwanti Hadi Pratiwi, M.Si 



Oleh : 

Nama : Retno Wahyuningsih 

NIM : 12413241026 







PROGRAM PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2012 A
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013




Stratifikasi sosial dilihat dari beberapa teori, yaitu : 

1. Pendekatan Struktural Fungsional 

Teori Struktural fungsional adalah sebuah teori yang berisi tentang sudut pandang yang menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubugan Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik Ciri dasar kehidupan sosial struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Masyarakat dalam pemikiran struktural fungsional yang sangat mengedepankan pemikiran bologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan. Teori struktural fungsional juga mengedepankan suatu perspektif yang menekankan harmonisasi dan regulasi yang dikembangkan berdasarkan sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai berikut: 

a. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks. 

b. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. 

c. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri 

Pendekatan struktural fungsional dapat dikatakan bahwa tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa menduduki sebuah kelas sosial. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, maka semua masyrakat memerlukan sistem dan keperluan ini menyebabkan adanya sistem stratifikasi di dalam masyarakat, stratifikasi tidak mengacu kepada individu di dalam sistem stratifikasi, tetapi lebih kepada sistem posisi (kedudukan), artinya memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise yang bebeda dan tidak memusatkan perhatian pada masalah bagaimana cara individu dapat menduduki posisi tertentu. 

Menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”. Dalam sistem stratifikasi, hal ini dapat diturunkan menjadi dua masalah. Pertama, bagaimana cara masyarakat menanamkan kepada individu yang “tepat” itu keinginan untuk mengisi posisi tertentu? Kedua, segera setelah individu berada pada posisi yang tepat, lalu bagaimana cara masyrakat menanamkan keinginan kepada mereka untuk memenuhi persyaratan psosisi mereka? 

Persoalan krusial dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi/kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut. Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena : 

Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena : 

· Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain. 

· Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain. 

· Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula. 

Meski masalah di atas dapat diterapkan pada seluruh posisi sosial, namun teori ini memusatkan perhatian pada posisi yang fungsinya lebih penting dalam masyarakat. Posisi yang tinggi tingkatannya dalam sistem stratifikasi di anggap kurang menyenangkan untuk diduduki, tetapi lebih penting untuk kelangsungan hidup masyarakat dan memerlukan bakat dan kemampuan terbaik. Selain itu , masyarakat harus memberikan penghargaan atau reward yang layak bagi posisi ini sehingga ada cukup individu yang mau mendudukinya dan individu yang berhasil mendudukinya akan bekerja dengan tekun. Posisi tingkat rendah dalam sistem stratifikasi dianggap lebih menyenangkan namun kurang penting dan memerlukan bakat kemampuan yang tak terlalu besar. Masyarakatpun tak terlalu mengharuskan individu yang menduduki posisi rendah itu melaksanakan kewajiban mereka dengan tekun. 

Pandanagn ini tak bermaksud untuk menyatakan bahwa masyarakat secara sadar membangun sistem stratifikasi untuk meyakinkan bahwa posisi tingkat tinggi akan terisi dengan mewadai. Mereka bermaksud menjelaskan bahwa stratifikasi adalah “ perlengkaan yang berevolusi secara tak sadar”. Perlengkapan ini ada dan harus ada dalam setiap masyarakat untuk menjamin kelangsungan hidupnya. 

Kemudian, untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi tingkat yang lebih tinggi, masyarakat harus menyediakan berbagai hadiah untuk individu ini, termasuk prestise tinggi , gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Misalnya, untuk menjamin tersedianya dokter yang cukup bagi masyarakat di kota, kita perlu menawarkan kepada mereka berbagai imbalan. Secara tersirat davis dan moore menyatakan bahwa kita tak bisa mengharapkan individu akan melakukan proses pendidikan kedokteran yang “berat“ dan “mahal” itu apabila kita tidak menawarkan imbalan. Maksudnya adalah bahwa individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima imbalan dari fungsi yang dilaksnakannya, bila tidak demikian maka posisi itu akan tetap kekurangan personil atau tak terisi dan masyarakat akan tercerai berai. 

Satu kritik mendasar menyatakan bahwa teori stratifikasi struktural fungsional hanya akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah mempunyai kekuasaan, prestise, dan uang. Teori ini menyatakan bahwa orang yang menempati posisi istimewa itu berhak mendapatkan hak (imbalan) mereka, imbalan seperti itu perlu diberikan kepada mereka demi kebaikan masyarakat. 

Namun teori stratifikasi sosial-fungsional ini mendapatkan Banyak kritik, khususnya terkait dengan : 

· Previlage atau hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri. 

· Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi. 

· Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film/sinetron. Tetapi bintang film/sinetron lebih besar kekuasaan/pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat. 

· Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan/diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi. 

· Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain. 



2. Pendekatan Teori Konflik 

Pada dasarnya, teori ini merupakan serangkaian pernyataan yang menentang pendapat-pendapat fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah sesuatu yang statis atau paling-paling dalam kondisi ekuilibrium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendrof, setiap masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan. Jika para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan kontribusi pada stabilitas, sedangkan para teoritisi konflik melihat begitu banyak elemen masyarakat yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan. Teoritisi konflik melihat apa pun tatanan yang ada di tengah-tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang diberikan oleh beberapa orang yang berada di puncak. 



Dalam pendekatan ini orang dipandang memiliki sifat sosial, tetapi juga mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik mungkin terjadi dalam hubungan sosial karena “penggunaan kekerasan” yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan, orang berupaya untuk memaksimalkan “status subyektif” mereka dan kemampuan untuk berbuat demikian tergantung pada sumber daya mereka maupun sumber daya orang lain. Dengan siapa mereka berurusan. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan mungkin terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasaranya saling bertentangan. 

Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi 3 prinsip, yaitu : 

Pertama, bahwa orang hidup dalam dunia subyektif yang dibangun sendiri. Kedua, orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif seorang individu. Ketiga, orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu. 

Teori konflik berpendapat bahwa stratifikasi adalah disfungsional dan berbahaya dalam masyarakat. Stratifikasi menguntungkan orang kaya dan berkuasa dengan mengorbankan kaum miskin. Misalnya, banyak keluarga kaya membayar upah rendah untuk pengasuh untuk merawat anak-anak mereka, tukang kebun untuk menghadiri kebun mawar dan pelayan untuk mengambil kaus kaki kotor mereka. Kapitalisme, khususnya, manfaat orang kaya. Kesejahteraan korporasi adalah salah satu contoh di mana pengaturan subsidi langsung, keringanan pajak, dan dukungan lainnya bahwa pemerintah telah menciptakan untuk bisnis besar. Seperti disebutkan sebelumnya, keluarga Walton menerima keringanan pajak besar. Ketimpangan tidak bisa dihindari dalam sebuah sistem yang memiliki kompetisi individu pada intinya, dan karena itu, ‘pemenang’ dan ‘pecundang’. Percaya teori Konflik bahwa sistem yang kompetitif, bersama-sama dengan cara permainan ini ‘diperbaiki’, akhirnya menciptakan dan melanggengkan stratifikasi sistem. Persaingan dan ketidaksetaraan pasti terjadi tetapi tidak diciptakan dan dipelihara oleh orang-orang. 

Analisis tentang stratifikasi : 

a. Teori konflik memusatkan perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak, yaitu memusatkan untuk memikirkan manusia seperti binatang, yang tindakannya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, yang merlihat sebagai muslihat untuk mencapai keuntungan sehingga mereka dapat mencapai kepuasan dan menghindari ketidakpuasan. 



b. Teori konflik, memandang stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi. Meski aktor-aktor yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor material seperti “lingkungan fisik, mode komunikasi, suplai senjata, perlengkapan untuk mencari simpati publik, peralatan barang-barang” (Collins, 1975:60), namun tak semua aktor dapat dipengaruhi dengan cara yang sama. Variable utama adalah sumber daya yang dimiliki oleh actor yang berlainan. Aktor dengan sumber daya material yang banyak dapat menentang atau bahkan merubah hambatan material ini, sedangkan aktor dengan sumber daya yang lebih sedikit, besar kemungkinan akan berpikir dan bertindak berdasarkan keadaan material mereka. 



c. Dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Dengan hati-hati ia menunjukkan bahwa eksploitasi demikian tak selalu menimbulkan kalkulasi sadar di pihak yang memperoleh keuntungan dari situasi ketimpangan itu. Pihak yang mengeksploitasi semata-mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka. Dalam proses itu mereka mungkin mengambil keuntugan dari pihak yang sumber dayanya terbatas. 



d. Konflik melihat fenomena kultural, seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan. Ada kemungkinan bahwa kelompok dengan sumber daya dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. 



e. Membuat komitmen tegas untuk melakukan studi ilmiah tentang stratifikasi dan setiap aspek kehidupan sosial lainnya. Dengan demikian, harus menetapkan beberapa hal: sosiolog tak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi harus menelitinya secara empiris, dan jika memungkinkan, secara komparatif. Akhirnya, sosiolog harus mencari penyebab fenomena sosial, terutama berbagai penyebab setiap betuk perilaku sosial. 



Proposisi mengenai hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial : 

§ Pengalaman memberikan dan menerima perintah adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu. 

§ Makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan dirinya dengan cita-cita organisasi dia menjustifikasi perintahnya itu. 

§ Makin sering orang menerima perintah, maka ia makin patuh, makin fatalistis, makin terasing dari cita-cita organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral. 



3. Pendekatan Teori Interaksionisme Simbolik 

Teori ini menyatakan bahwa manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain memberi makna atas simbol tersebut. 

Berfikir, adalah proses memahami natalita dalam rangka mengambil kesimpulan dan menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan austik (melamun, fantasi, berkaca, dll) dan dengan reasliustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata). 

Persepsi, adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh engetahuan sesuai dengan yang di inginkan atau dengan kata lain adalah proses memberi makna pada stimuli inderawi. 

Memori, adalah sistem ingatan yang sanggup merekam fakta dan dapat di gunakan untuk membimbing perilaku manusia. 

Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesama. Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses interaksi sosial. 

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya. 

Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia ucapkan. 

Ide dasar dari interaksi simbolik adalah : 

a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 

b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 

c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. 

Interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: 

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, 

2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. 

Gagasan Teori Interaksionisme Simbolik istilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. 

· Apa level dari analisis teori interaksionisme simbolik? 

Teori ini menggunakan level makro. Analisis tingkat makro umumnya melacak hasil dari interaksi, seperti interaksi mentransfer sumber daya ekonomi atau lainnya selama populasi yang besar. Juga disebut sebagai tingkat global. Dalam hal ini menitik beratkan pada interaksi dalam skala luas yang universal, prespektif atau pandangan suatu daerah itu sama dengan daerah yang lain. 

· Apakah stratifikasi sosial itu? 

Menurut pandangan interaksionisme simbolik, stratifikasi sosial merupakan faktor yang memandu masyarakat dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Karena memang dalam pendekatan ini memfokuskan pada interaksi antarindividu. Dalam hal ini yang digunakan sebagai titik tolak yaitu bagaimana hubungan antar individu, berkomunikasi dengan sesamanya. 

· Apa alasan untuk posisi sosial kita? 

Produk yang kita konsumsi semua mengatakan sesuatu tentang posisi sosial, jadi apapun yang dikenakan akan dapat dilihat kelas sosialnya. Misalnya, seseorang yang memakai perhiasan ditafsirkan bahwa ia adalah orang yang kaya dan menempati kelas sosial atas, sebaliknya seseorang yang tidak memakai perhiasan ditafirkan sebagai orang yang miskin dan menduduki kelas sosial bawah. 

· Apakah manfaat yang tidak sama adil? 

Mungkin, orang mungkin tidak mendefinisikan ketidaksetaraan sebagai adil. Orang mau melihat posisi sosial mereka sebagai ukuran harga diri, ketidaksetaraan membenarkan dalam hal perbedaan pribadi. Ketidaksetaraan dianggap wajar.

0 komentar:

Posting Komentar

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital