Teori Perubahan Sosial Budaya, Pitirim A sorokin
Teori Perubahan Sosial Menurut Pitirim A sorokin
Pitirim A
Sorokin merupakan salah satu sosiolog yang terkenal, pitirim sendiri lahir di
Rusia pada tahun 1889 di rusia dan memperoleh pendidikan di Universitas St.
Petersburg. Setelah mendapatkan kedudukan akademis di sana, ia kemudian
mendirikan Departemen sosiologi, iapun menjadi ketua di departemen
tersebut. Pada awalnya, karier Sorokin terganggu oleh adanya revolusi komunis
pada waktu itu, sebab pitirim merupakan salah satu orang yang anti komunisme.
Oleh karena itu, iapun pernah ditahan dan dijatuhi hukuman mati, akan tetapi
hukuman tersebut akhirnya diubah dan diganti dengan hukuman pembuangan. Sorokin
pun akhirnya dibuang di cekoslowakia. Pada tahun 1924, ia kemudian pindah ke
Amerika Serikaat, di sana ia bergabung dengan Universitas Harvard, dan beberapa
tahun kemudian mendirikan Center For Creative Altruism. Pitirim juga memiliki
banyak karya, diantaraya yaitu: Social Cultural and Dynamics (1941), The
Crisis of Our Age (1941), Society, Culture and Personality (1947).
Sorokinpun
juga menjelaskan beberapa teori teori mengenai sosiologi, diantaranya yang
pertama yaitu tentang teori siklus perubahan sosial. Sorokin memusatkan
perhatiannya pada tingkat budaya, dengan menekankan pada arti, nilai, norma dan
simbol sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial-budaya. Sorokin juga
menekankan adanya saling ketergantungan antara pola-pola budaya. Ia percaya
bahwa masyarakat adalah suatu sistem interaksi dan kepribadian individual.
Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem sosial yang paling mungkin didasari pada
seperangkat arti, nilai, norma hukum yang secara logis dan tetap mengatur
interaksi antara kepribadian-kepribadian yang ada didalam masyarakat. Tingkat
yang paling rendah dimana kenyataan sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat
interaksi antara 2 orang atau lebih. Sorokin mengemukakan teori yang berlainan,
ia menerima teori siklus seperti hukum fatum ala Oswald Spengler dalam karya
yang berpengaruhnya Der Untergang des Abendlandes (Decline of the
West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan
Eropa yang didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum
alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam
segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta.
Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai
wujud dari fatum. Sorokin menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan
corak ragam yang kaya raya dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga
menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan fluctuation
of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Ia
menyatakan adanya cultural universal dan di dalam alam kebudayaan itu terdapat
masyarakat dan aliran kebudayaan. Di alam yang luas ini terdapat 3 tipe yang
tertentu, yaitu pertama, sistem ideasional, yaitu kerohanian, keagamaan,
ketuhanan, dan kepercayaan.kedua yaitu, sistem inderawi, yaitu serba jasmaniah,
mengenai keduniawian, dan berpusat pada pancaindera. Ketiga yaitu, sistem
campuran, yaitu perpaduan dua sistem sebelumnya (idealistic).
Teori kedua
yang diungkapkan oleh Sorokin yaitu mengenai Intergrasi sosial dan budaya. Satu
alaasan yang memungkinkan martindale melihat Sorokin sebagai seorang organisis,
dapat dilihat pada tekanan Sorokin pada pemahaman system sosio-budaya secara
keseluruhan. Prespektif organis menekannkan kenyataan masyarakat yang
independen dan tradisi-tradisi budayanya sebagai suatu system yang intregritas.
Analisa Sorokin mengenai dinamika system-sistem sosio budaya yang terintregitas
secara luas dalam empat karangan utamanya, Social and Culture Dynamic, sejalan
dengan pendekatan ini. Alasan penting lainnya untuk melihat Sorokin sebagai
seorang ahli teori organis tanpa asumsi-asumsi positivis adalah penolakan
Sorokin untuk membatasi konsepnya mengenai kebenaran pada data empiris,
sebaliknya dia menunjukkan suatu kerelaan untuk menerima suatu konsep mengenai
kebenaran dan pengetahuan yang bersifat multidimensi, dengan data empiris
memberikan sebagian pengetahuan. Sejalan dengan penekanan Sorokin pada
arti-arti subyektif, hal itu memisahkan dia dari kelompok-kelompok positivis
yang menekankan pada empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.
Sorokin
sendiri menilai tidak tepat klasifikasi Martindale yang memasukkan pendekatannya
kedalam suatu prespektif organis. Bukan mengasumsikan integrasi menyeluruh yang
ditekankan Sorokin. Dia menekankan pentingnya mengetahui tingkat integrasi yang
berbeda, dan mengkhususkan tingkat dimana aspek-aspek yang berbeda dalam
kenyataan sosio-budaya itu dapat dikatakan terintegrasikan. Juga berbeda sekali
dengan penekanan kelompok organis pada pola-pola pertumbuhan dan kemunduran
yang tidak berubah yang dilalui system-sistem budaya. Sorokin menekankan
tingkat variabilitas yang tinggi yang diperlihatkannya. Tema-tema budaya dasar
mungkin terulang, tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang
berubah. Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang
kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa
daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka
panjang yang bersifat “berulang-berubah” (Varyingly Recurrent ).
Penekanan
Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan
bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi
gerak dalam satu arah saja dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang
percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan intelektual manusia.
Pendekatan
Sorokin yang bersifat “integralis” itu memungkinkan dia untuk mengkritik dengan
keras gagasan bahwa semua pengetahuan kita akhirnya berasal dari data empiris.
Sebaliknya dia mengemukakan bahwa data empiris hanya memperlihatkan satu tipe
kebenaran. Yakni kebenaran indrawi. Juga ada kebenaran akal budi dan yang
ketiga adalah kebenaran kepercayaan atau intuisi,yang melampaui data indrawi
dan rasional.
B. Relevansi
Teori Pitirim A Sorokin:
Dalam peranannya sebagai seorang
sosiolog, Sorokin telah menyubang beberapa teori diantaranya yaitu teori tentang
tipe tipe mentalitas budaya. Teori tersebut merupakan kunci untuk memahami
sistem budaya yang terintergrasi, yaitu dengan menggunakan teori mentalitas
budaya tersebut. Dalam teorinya, Sorokin menjelaskan ada tiga jenis mentalitas
budaya yang pertama yaitu kebudayaan ideasional.
Kebudayaan
ideasional ini dapat diartikan sebagai dasar berpikir bahwa kenyataan akhir itu
bersifat nonmaterial dan tidak dapat ditangkap dengan mata. Teori ini juga
mengatakan bahwa dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, dan sementara atau
dapat diartikan sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap.
Hal ini dapat kita lihat pada saat ini bahwa di zaman modern ini terdapat
beberapa agama dan kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat, dan
karena itu juga masyarakat juga masih mempercayai adanya tuhan walaupun
individu maupun masyarakat manapun tidak dapat melihatnya. Dalam teori ini juga
mengartikan bahwa, dunia yang kita tempati sekarang ini merupakan dunia yang
abadi, melainkan dunia yang masih sementara, atau masih ada lagi dunia setelah
ini yang lebih kita kenal dengan dunia akhirat. Dalam teori ini juga
menjelaskan bahwa manusia harus menyeimbangkan antara kepentingan duniawi
dengan kepentingan religious atau akhirat.
Teori selanjutnya yaitu teori kebudayaan
inderawi, jika pada teori sebelumnya menganggap bahwa kita harus menyeimbangkan
antara kepentingan dunia dan akhirat, pada teori kebudayaan inderawi malah
sebaliknya, kita harus lebih terorientasi pada kepentingan duniawi. Dalam teori
ini dikatakan bahwa dunia materill yang kita alami dengan indera kita merupakan
satu satunya kenyataan yang ada. Artinya, bahwa dunia yang kita tempait
sekarang merupakan satu satunya tempat tinggal kita, dan tidak ada lagi dunia
yang lainnya. kebudayaan inderawi deibagi menjadi tigaa bagian yaitu kebudayaan
inderawi aktif, kebudayaan inderawi pasif, dan kebudayaan inderawi sinis.
Kebudayaan inderawi aktif, mendorong usaha manusia untuk berusaha aktif dan
giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materill dengan
mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber sumber
kepuasan dan kesenangan bersama. Pada intinya teori ini menjelaskan bahwa
pemenuhan kebutuhan duniawi sangatlah penting daripada kebutuhan akhirat. Teori
ini pada akhirnya mendasari pemikiran manusia terhadap perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini. Misalnya saja dapat kita lihat,
jika pada zaman dahulu masih banyak hutan lebat di Indonesia, akan tetapi saat
sekarang hutan hutan tersebut menghilang dan digantikan sebagai lahan pertanian
maupun pemukiman, di sisi lain banyak bermunculan tambang tambang emas dan
minyka bumi yang berada di wilayah Indonesia. Dalam kebudayaan inderawi pasif,
menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hasrat untuk mengalami kesenangan
kesenangan hidup duniawi setinggi tingginya. Dalam arti, manusia mempunyai
hasrat hedonisme seperti apa yang kita lami sekarang ini. Sedangakan kebudayaan
kebudayaan sinis, manusia ditekankan pada aspek rasional atau pemikiran secara
logika atau hanya mempercayai kenyataan yang ada. Pada dasarnya, teori ini
memperlihatkan secara mendasar usaha manusia yang bersifat munafik untuk
membenarkan pencapaian tujuan materialistis, misalnya kita dapat menganggap
bahwa keberhasilan atau keberuntungan yang kita dapatkan selama ini merupakan
hasil kerja keras kita dan bukan pemberian atau karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa manusia juga memiliki hasrat untuk
tidak mempercayai adanya tuhan atau atheis.
Dan teori
terakhir yaitu teori kebudayaan campuran. Teori ini merupakan penegasan antara
teori ideasional dan inderawi. Tentunya jika kita menganalisis, terdapat
persamaan antara teori mentalitas budaya Sorokin dengan teori jenjang tiga
tahap milik auguste Comte. Pada dasarnya kedua terori ini memiliki gagasan
dasar yang terkandung dalam pandangan dunia yang dominan atau gaya berpikir
sebagai acuan untuk memahami kenyataaan sosial budaya di sekeliling kita,
sedangkan perbedaannya, teori Comte tidak bersifat linier atau siklus. Teori
Comte mengemkakan bhwa sejarah manusia menunjukkan kemajuan unlinier, yang
didasarkan pada perkembangan ilmu, yang akan bergerak maju terus menerus ke
masa depan. Dalam arti, bahwa salah satu fase dari tiga tahap tersebut tidak
akan terulang kembali oleh manusia. Sedangkan pada pendapat sosrokin, ia
menjelaskan bahwa pada dasarnya jenjang tiga tahap yang dikemukakan oleh Comte
merupakan siklus yang akan berulang ulang dan akan dialami terus oleh manusia.
1 komentar:
Terima kasih telah berbagi ilmu dengan kami yang membutuhkan
Posting Komentar