Teori Perubahan Sosial Budaya, Pitirim A sorokin
Teori Perubahan Sosial Menurut Pitirim A sorokin
Pitirim A
Sorokin merupakan salah satu sosiolog yang terkenal, pitirim sendiri lahir di
Rusia pada tahun 1889 di rusia dan memperoleh pendidikan di Universitas St.
Petersburg. Setelah mendapatkan kedudukan akademis di sana, ia kemudian
mendirikan Departemen sosiologi, iapun menjadi ketua di departemen
tersebut. Pada awalnya, karier Sorokin terganggu oleh adanya revolusi komunis
pada waktu itu, sebab pitirim merupakan salah satu orang yang anti komunisme.
Oleh karena itu, iapun pernah ditahan dan dijatuhi hukuman mati, akan tetapi
hukuman tersebut akhirnya diubah dan diganti dengan hukuman pembuangan. Sorokin
pun akhirnya dibuang di cekoslowakia. Pada tahun 1924, ia kemudian pindah ke
Amerika Serikaat, di sana ia bergabung dengan Universitas Harvard, dan beberapa
tahun kemudian mendirikan Center For Creative Altruism. Pitirim juga memiliki
banyak karya, diantaraya yaitu: Social Cultural and Dynamics (1941), The
Crisis of Our Age (1941), Society, Culture and Personality (1947).
Sorokinpun
juga menjelaskan beberapa teori teori mengenai sosiologi, diantaranya yang
pertama yaitu tentang teori siklus perubahan sosial. Sorokin memusatkan
perhatiannya pada tingkat budaya, dengan menekankan pada arti, nilai, norma dan
simbol sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial-budaya. Sorokin juga
menekankan adanya saling ketergantungan antara pola-pola budaya. Ia percaya
bahwa masyarakat adalah suatu sistem interaksi dan kepribadian individual.
Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem sosial yang paling mungkin didasari pada
seperangkat arti, nilai, norma hukum yang secara logis dan tetap mengatur
interaksi antara kepribadian-kepribadian yang ada didalam masyarakat. Tingkat
yang paling rendah dimana kenyataan sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat
interaksi antara 2 orang atau lebih. Sorokin mengemukakan teori yang berlainan,
ia menerima teori siklus seperti hukum fatum ala Oswald Spengler dalam karya
yang berpengaruhnya Der Untergang des Abendlandes (Decline of the
West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan
Eropa yang didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum
alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam
segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta.
Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai
wujud dari fatum. Sorokin menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan
corak ragam yang kaya raya dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga
menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan fluctuation
of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Ia
menyatakan adanya cultural universal dan di dalam alam kebudayaan itu terdapat
masyarakat dan aliran kebudayaan. Di alam yang luas ini terdapat 3 tipe yang
tertentu, yaitu pertama, sistem ideasional, yaitu kerohanian, keagamaan,
ketuhanan, dan kepercayaan.kedua yaitu, sistem inderawi, yaitu serba jasmaniah,
mengenai keduniawian, dan berpusat pada pancaindera. Ketiga yaitu, sistem
campuran, yaitu perpaduan dua sistem sebelumnya (idealistic).
Teori kedua
yang diungkapkan oleh Sorokin yaitu mengenai Intergrasi sosial dan budaya. Satu
alaasan yang memungkinkan martindale melihat Sorokin sebagai seorang organisis,
dapat dilihat pada tekanan Sorokin pada pemahaman system sosio-budaya secara
keseluruhan. Prespektif organis menekannkan kenyataan masyarakat yang
independen dan tradisi-tradisi budayanya sebagai suatu system yang intregritas.
Analisa Sorokin mengenai dinamika system-sistem sosio budaya yang terintregitas
secara luas dalam empat karangan utamanya, Social and Culture Dynamic, sejalan
dengan pendekatan ini. Alasan penting lainnya untuk melihat Sorokin sebagai
seorang ahli teori organis tanpa asumsi-asumsi positivis adalah penolakan
Sorokin untuk membatasi konsepnya mengenai kebenaran pada data empiris,
sebaliknya dia menunjukkan suatu kerelaan untuk menerima suatu konsep mengenai
kebenaran dan pengetahuan yang bersifat multidimensi, dengan data empiris
memberikan sebagian pengetahuan. Sejalan dengan penekanan Sorokin pada
arti-arti subyektif, hal itu memisahkan dia dari kelompok-kelompok positivis
yang menekankan pada empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.
Sorokin
sendiri menilai tidak tepat klasifikasi Martindale yang memasukkan pendekatannya
kedalam suatu prespektif organis. Bukan mengasumsikan integrasi menyeluruh yang
ditekankan Sorokin. Dia menekankan pentingnya mengetahui tingkat integrasi yang
berbeda, dan mengkhususkan tingkat dimana aspek-aspek yang berbeda dalam
kenyataan sosio-budaya itu dapat dikatakan terintegrasikan. Juga berbeda sekali
dengan penekanan kelompok organis pada pola-pola pertumbuhan dan kemunduran
yang tidak berubah yang dilalui system-sistem budaya. Sorokin menekankan
tingkat variabilitas yang tinggi yang diperlihatkannya. Tema-tema budaya dasar
mungkin terulang, tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang
berubah. Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang
kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa
daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka
panjang yang bersifat “berulang-berubah” (Varyingly Recurrent ).
Penekanan
Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan
bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi
gerak dalam satu arah saja dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang
percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan intelektual manusia.
Pendekatan
Sorokin yang bersifat “integralis” itu memungkinkan dia untuk mengkritik dengan
keras gagasan bahwa semua pengetahuan kita akhirnya berasal dari data empiris.
Sebaliknya dia mengemukakan bahwa data empiris hanya memperlihatkan satu tipe
kebenaran. Yakni kebenaran indrawi. Juga ada kebenaran akal budi dan yang
ketiga adalah kebenaran kepercayaan atau intuisi,yang melampaui data indrawi
dan rasional.
B. Relevansi
Teori Pitirim A Sorokin:
Dalam peranannya sebagai seorang
sosiolog, Sorokin telah menyubang beberapa teori diantaranya yaitu teori tentang
tipe tipe mentalitas budaya. Teori tersebut merupakan kunci untuk memahami
sistem budaya yang terintergrasi, yaitu dengan menggunakan teori mentalitas
budaya tersebut. Dalam teorinya, Sorokin menjelaskan ada tiga jenis mentalitas
budaya yang pertama yaitu kebudayaan ideasional.
Kebudayaan
ideasional ini dapat diartikan sebagai dasar berpikir bahwa kenyataan akhir itu
bersifat nonmaterial dan tidak dapat ditangkap dengan mata. Teori ini juga
mengatakan bahwa dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, dan sementara atau
dapat diartikan sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap.
Hal ini dapat kita lihat pada saat ini bahwa di zaman modern ini terdapat
beberapa agama dan kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat, dan
karena itu juga masyarakat juga masih mempercayai adanya tuhan walaupun
individu maupun masyarakat manapun tidak dapat melihatnya. Dalam teori ini juga
mengartikan bahwa, dunia yang kita tempati sekarang ini merupakan dunia yang
abadi, melainkan dunia yang masih sementara, atau masih ada lagi dunia setelah
ini yang lebih kita kenal dengan dunia akhirat. Dalam teori ini juga
menjelaskan bahwa manusia harus menyeimbangkan antara kepentingan duniawi
dengan kepentingan religious atau akhirat.
Teori selanjutnya yaitu teori kebudayaan
inderawi, jika pada teori sebelumnya menganggap bahwa kita harus menyeimbangkan
antara kepentingan dunia dan akhirat, pada teori kebudayaan inderawi malah
sebaliknya, kita harus lebih terorientasi pada kepentingan duniawi. Dalam teori
ini dikatakan bahwa dunia materill yang kita alami dengan indera kita merupakan
satu satunya kenyataan yang ada. Artinya, bahwa dunia yang kita tempait
sekarang merupakan satu satunya tempat tinggal kita, dan tidak ada lagi dunia
yang lainnya. kebudayaan inderawi deibagi menjadi tigaa bagian yaitu kebudayaan
inderawi aktif, kebudayaan inderawi pasif, dan kebudayaan inderawi sinis.
Kebudayaan inderawi aktif, mendorong usaha manusia untuk berusaha aktif dan
giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materill dengan
mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber sumber
kepuasan dan kesenangan bersama. Pada intinya teori ini menjelaskan bahwa
pemenuhan kebutuhan duniawi sangatlah penting daripada kebutuhan akhirat. Teori
ini pada akhirnya mendasari pemikiran manusia terhadap perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini. Misalnya saja dapat kita lihat,
jika pada zaman dahulu masih banyak hutan lebat di Indonesia, akan tetapi saat
sekarang hutan hutan tersebut menghilang dan digantikan sebagai lahan pertanian
maupun pemukiman, di sisi lain banyak bermunculan tambang tambang emas dan
minyka bumi yang berada di wilayah Indonesia. Dalam kebudayaan inderawi pasif,
menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hasrat untuk mengalami kesenangan
kesenangan hidup duniawi setinggi tingginya. Dalam arti, manusia mempunyai
hasrat hedonisme seperti apa yang kita lami sekarang ini. Sedangakan kebudayaan
kebudayaan sinis, manusia ditekankan pada aspek rasional atau pemikiran secara
logika atau hanya mempercayai kenyataan yang ada. Pada dasarnya, teori ini
memperlihatkan secara mendasar usaha manusia yang bersifat munafik untuk
membenarkan pencapaian tujuan materialistis, misalnya kita dapat menganggap
bahwa keberhasilan atau keberuntungan yang kita dapatkan selama ini merupakan
hasil kerja keras kita dan bukan pemberian atau karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa manusia juga memiliki hasrat untuk
tidak mempercayai adanya tuhan atau atheis.
Dan teori
terakhir yaitu teori kebudayaan campuran. Teori ini merupakan penegasan antara
teori ideasional dan inderawi. Tentunya jika kita menganalisis, terdapat
persamaan antara teori mentalitas budaya Sorokin dengan teori jenjang tiga
tahap milik auguste Comte. Pada dasarnya kedua terori ini memiliki gagasan
dasar yang terkandung dalam pandangan dunia yang dominan atau gaya berpikir
sebagai acuan untuk memahami kenyataaan sosial budaya di sekeliling kita,
sedangkan perbedaannya, teori Comte tidak bersifat linier atau siklus. Teori
Comte mengemkakan bhwa sejarah manusia menunjukkan kemajuan unlinier, yang
didasarkan pada perkembangan ilmu, yang akan bergerak maju terus menerus ke
masa depan. Dalam arti, bahwa salah satu fase dari tiga tahap tersebut tidak
akan terulang kembali oleh manusia. Sedangkan pada pendapat sosrokin, ia
menjelaskan bahwa pada dasarnya jenjang tiga tahap yang dikemukakan oleh Comte
merupakan siklus yang akan berulang ulang dan akan dialami terus oleh manusia.
Label:
Materi kuliah
TEORI PERUBAHAN SOSIAL MENURUT BEBERAPA AHLI
TEORI PERUBAHAN SOSIAL MENURUT BEBERAPA AHLI
1. Pitirim A. Sorokin
Seorang ahli sosiologi Rusia yang pindah ke Amerika Serikat. Ia merupakan penganut Teori Siklus. Ia berpandangan bahwa semua peradaban besar di dunia berada dalam siklus 3 sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir, yaitu:Kebudayaan ideasional
Didasari oleh nilai dan kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural).Kebudayaan idealistis
Perpaduan antara unsur kepercayaan terhadap unsur adikodrati dan rasionalitas berdasar fakta dalam membentuk masyarakat ideal.
Kebudayaan sensasi
Sensasi menjadi tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
Dalam “Social and Cultural Dynamics”, Sorokin menilai peradaban modern adalah peradaban yang rapuh dan tidak lama lagi akan runtuh dan selanjutnya berubah menjadi kebudayaan ideasional yang baru. Dalam suatu perubahan yang terpenting adalah tentang proses sosial yang saling berkaitan. Sorokin juga memberikan pengertian tentang proses sosial yaitu sebuah perubahan subyek tertentu dalam perjalanan waktu, entah itu perubahan tempatnya dalam ruang atau modifikasi aspek kuantitatif atau kualitatifnya.
2. Arnold Toynbee
Seorang sejarawan Inggris yang juga menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Menurut Toynbee, ke-21 (dua puluh satu) peradaban besar muncul untuk menjawab tantangan tertentu tapi semuanya telah punah, kecuali peradaban barat yang dewasa ini menuju ke tahap kepunahan (1935 – 1961).
3. William F. Ogburn
Seorang sosiologi Amerika, merupakan ilmuan pertama yang melakukan penelitian terinci menyangkut proses perubahan sosial.
William F. Ogburn juga menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun non material. Ogburn berpendapat bahwa budaya material berubah lebih cepat dibandingkan dengan budaya non material yang dapat menyebabkan terjadinya cultural lag.
4. Neil Smelsel
Memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif, menurutnya ada 6 syarat pra kondisi yang harus terjadi yaitu struktural (structural conduciveness), ketegangan struktural (structural strain), munculnya dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat, dan mobilitas tindakan.
5. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri. Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikuti tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran. Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, yaitu Prof. Emeritus, Dr. Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan. Demikian, Ibnu Khaldun tampil sendiri sebagai genius sejarah terbesar dari Islam yang pertama melahirkan suatu konsepsi filosofis dan sosiologis tentang sejarah. Jika dalam buku “Ideas and History”, Cromwell disebut sebagai “Pembuat Sejarah” tetapi tak pernah menulis sejarah, maka Ibnu Khaldun adalah pembuat sejarah dan sekaligus penulis sejarah.
6. Emile Durkheim
Melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.
7. Max Weber
Pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodoks, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.
8. Talcott Parsons
Melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan sosial. Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu:
Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Label:
Materi kuliah
Teori Perubahan Sosial Max Weber
Teori Perubahan Sosial Max Weber
Max Weber lebih cenderung menganggap bahwa interaksi sosial sangat terkait dengan prilakumanusia. Olehnya itu penelitian mengarah kepada prilaku manusia dan sebab-sebab terjadinyainteraksi sosial. Selain Itu max Weber lebih cendrung kepada prilaku sosial sebagai usahamelakukan aksi-aksi sosial. Teori yang terkenal adalah methode of understanding dan ideal typusyaitu suatu konstruksi dalam fikiran peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengalisisgejala-gejala dalam masyarakat.Dari beberapa pandangan tersebut maka sesungguhnya tidak akan cukup untuk menjelaskansecara rinci tentang perubahan sosial. Akan tetapi dari beberapa pandaangan tersebut dapatdipahami bahwa perubahan sosial mutlak terjadi sejalan dengan perubahan pada masyarakat itu sendiri.
Perspektif Idealis
Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkanperubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor nonmaterial. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dankepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkanideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan ataumelegitimasi bentuk tindakan masyarakat.Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda denganMarx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktorpenyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruhkedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalahdari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akanmewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Webar, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :1. Rasionalitas tradisional.2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.3. Rasionalitas afektif.4. Rasionalitas instrumental.Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesatadalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata.Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis.Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untukbekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapitalternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyaietika protestan.Tokoh lain adalah Lewy yang memperjelas pendapat Weber tentang peranan agama dalam perubahansosial. Lewy mengambil contoh sejarah yang menggambarkan bahwa nilai-nilai agama mempengaruhiarah perubahan. Dia menyebutkan adanya pemberontakan Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islamdi Sudan, pemberontakan taiping dan boxer di China. Seperti halnya Weber, Lewy tidak menyangkalbahwa kondisi material mempengaruhi perubahan sosial. Namun demikian kita tidak dapat hanyamemahami perubahan sosial yang terjadi hanya dari faktor material saja.
Label:
Materi kuliah
Ibn Khaldun
TUGASPERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA“ IBN KHALDUN “
OLEH
:
MARTYAN
MITA RUMEKTI 12413241016
NURUL
KAMILLA AHMAD 12413241018
RETNO
WAHYUNINGSIH 12413241026
PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2012 A
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dunia
yang mengalami perubahan memerlukan adanya cara dan usaha untuk mendefinisikan
serta memaknainya. Dalam kehidupan sosial selalu muncul masalah sosial dan itu
muncul karena social creation yang tercipta sebagai hasil dari pemikiran
manusia dalam kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, akibat langsung
dari interaksi sosial dalam suatu keadaan tertentu dan konteks sosio – politik
tertentu. Masalah sosial memerlukan cara untuk menjelaskannya, memerlukan
metode untuk menemukan hukum-hukum dasar.
Dalam
konteks perubahan dan kemunculan sejumlah masalah sosial dalam masyarakat dalam
beragam isunya. Perubahan sosial yang berlangsung belakangan ini telah
membentuk struktur sosial yang baru, membentuk relasi sosial yang baru, dan
hubungan-hubungan sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berubah.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapakah
Ibn Khaldun?
2. Bagaimana
pandangan Ibn Khaldun mengenai perubahan sosial dan budaya di masyarakat?
3. Teori
apa saja yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun?
C. Manfaat
1. Untuk
mengetahui latar belakang Ibn Khaldun.
2. Untuk
mengetahui mengenai perubahan sosial dan budaya menurut Ibn Khaldun
3. Mengetahui
tentang teori-teori yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun seorang tokoh dan pemikir muslim, nama lengkapnya Abd al-Rohman (Abu
Zaid) bin Muhammad bin Abi Bakar bin Hasan. Ia dilahirkan di Trus pada tanggal
17 Mei 1332 M, dari keluarga Aristokrat yang berasal dari Hadramaut, dan wafat
di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Dua
buah karyanya yang terbesar yaitu kitab al-Ibrar danMuqadimah
Ibn Khaldun yang selesai di tulis pada tahun 1377 M. Muhsin Mahdi
mengemukakan bahwa Ibn Khaldun tidak menulis karya bidang sejarah seperti
lazimnya di zaman itu, tetapi menyusun suatu karya bercorak baru yang belum di
kenal sebelumnya. Dengan cara ini Ibn Khaldun melakukan perubahan dalam
penulisan sejarah dengan melakukan analisis mendalam tentang peristiwa sejarah. Ibnu
Khaldun terkenal pula dengan suatu teori yang disebut “Ashabiyah” yakni
adanya persamaan kepentingan sebagai akibat dari adanya saling ketergantungan
dalam memenuhi kebutuhan tertentu menyebabkan orang bergabung dan bersatu dalam
kelompoknya dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Ibn
Khaldun mengatakan bahwa Ashabiyah muncul karena empat sebab, yakni :
1. Ikatan darah atau keturunan dan
kerabat
2. Ikatan perjanjian atau persekuruan
3. Ikatan yang timbul karena hubungan
perlindungan dengan yang dilindungi karena bergabungnya seseorang atau
sekelompok dengan kelompok lain dan menyatakan loyal terhadap kelompok yang
melindunginya.
4. Ikatan agama
B. Transformasi
dan Perubahan Sosial menurut Ibn Khaldun
Masyarakat
yang selalu berubah, dinamis dan heterogen. Antara masyarakat satu dengan
masyarakat yang lain memiliki
akar sejarah yang berbeda, memiliki kerangka norma, nilai dan aturan yang khas
masing-masing mempunyai identitas dan ideologi yang di anut secara kolektif.
Ibn Khaldun melihat kehidupan nomaden
( berpindah-pindah ) dengan kehidupan menetap
dengan ciri yang memiliki nilai dan norma masing-masing.
Ashobiyah
dalam pemikiran Ibn Khaldun memiliki konotasi positif yakni sebagai piranti
solidaritas sosial atau ketidaksetiakawanan kelompok dan suku. Ibn Khaldun
sendiri sebenarnya menyadari makna negatif dari konsepnya tentang ashobiyah dan banyak pihak menunduh
konsep itu sebagai pemicu konflik atau kekerasan antar suku. Namun demikian, ashobiyah dimaknai sebagai upaya untuk
mempersiapkan masyarakat menuju pada perubahan dalam struktur sosial dan
politik serta perubahan pada level kultur dan kebudayaan. Dengan ashobiyah tersebut masyarakat menuju
pada kemajuan. Menurut Ibn Khaldun, semakin kuat ashobiyah dalam suatu komunitas akan meningkatkan komitmen suatu
masyarakat, sebaliknya semakin rendah dan longgarnya ashobiyah akan membawa pada konflik dan disintegrasi sosial.
Kekuatan ashobiyah atau solidaritas dalam suatu komunitas atau suku akan
membawa dampak pada meningkatnya kehidupan sosial masyarakat. Menurut ibn
Khaldun, ashobiyah meliputi kelompok
manusia primitif (badw) dan kelompok
manusia berbudaya ( hadhar). Konsep
ini memiliki makna yang mendalam dalam memotret kehidupan sosial, ekonomi dan
politik masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Indonesia, apabila menggunakan
konsep ashobiyah Ibn Khaldun maka
dapat dipastikan tingkat ashobiyah
antar komunitas, suku, daerah, adat istiadat yang diperkuat oleh regulasi
politik pemerintah mengenai otonomi daerah tentu sangat longgar, kecuali pada
beberapa daerah yang mempunyai suku-suku yang “terisolasi” dari modernisasi.
Dengan membuat contoh sederhana
bagaimana memahami perubahan sosial dalam konteks sosial Indonesia dengan
konsep ashobiyah Ibn Khaldun, maka
akan tampak proses disintegrasi sosial dan disintegrasi politik yang semakin
kuat, mengingat fenomena kemiskinan, kriminalitas dan pengangguran. Contoh ini
mungkin berlaku antara kurun waktu sistem politik yang belum ideal dan sistem
politik yang belum stabil. Di waktu yang lebih normal dan sehat, tingkat ashobiyah akan mengalami perbaikan dan
tampaknya akan menguat.
c. Teori
lain yang di kemukakan oleh Ibn Khaldun
1. Sosiologi
Politik Pokok Pemikiran Ibn Khaldun
Dalam
buku muqaddimah Ibn Khaldun telah
memperlihatkan ketajaman analisis mengenai kehidupan politik ( kekuasaan dan
negara ) yang aktual pada masanya, jatuh – bangunnya kekuasaan – kekuasaan
islam ( dinasti Islam ), baik diamati secara langsung maupun yang dialami
sendiri Ibn Khaldun, merupakan fenomena yang rekontruksi secara sistemmatis dan
teorotis dengan objektif dan kritis menjadi karya tulis yang momental.
Secara
umum, pemikiran politik Ibn Khaldun dapat diklasifikasikan ke alam dua hal
penting yaitu kekuasaan dan negara. Kedua konsep politik tersebut dapat
ditemukan dalam muqaddimah. Buku itu
sendiri sebagian besar memuat mengenai “ sosiologi politik “ dalam arti yang
sanngat luas, karena Ibn Khaldun membicarakan persoalan manusia, kebudayaan
atau peradaban, relasi sosial antar manusia, relasi antar kekuatan – kekuatan
sosial politik, dan bangunan identik politik masyarakat dalam zamannnya.
Sebagian kalangan sumber segala ilmu yang di bicarakan Ibn Khaldun adalah “
sosiologi “ , bagian – bagiannya mencakup bidang – bidang ilmu baru yang perlu
di kembangkan. Misalnya bisa menjadi cabang ilmu mandiri, menurutnya cabang –
cabnag ilmu tersebut belum pernah dijumpainya.
Untuk
memahami pemikiran politik Ibn Khaldun yang berkaitan dengan kekuasaan dan
negara perlu menyimak beberapa asumsi yang dibangun oleh Rahma Zainudin ( 1992:
21-22 ) tentang konsep negara dalam struktur pemikiran Ibn Khaldun berikut ini
:
a. Konsep
kekuasaan dan konsep negara, dalam pendapat Ibn Khaldun, dipandang dari segi
asal – usulnya merupakan suatu kesinambungan dan bentuknya sempurna dalam
negara.
b. Kekuasaan
dan negara, dalam pemikiran Ibn Khaldun memberikan sebentuk keteraturan dan
ketentraman kepada kehidupan masyarakat manusia sehingga keduanya mutlak
penting bagi kehidupan masyarakat dan bagi potensi yang terdapat pada dirinya.
c. Hubungan
kekuasaan dalam masyarakatyang tingkatnya berada dibawah tingkat kekuasaan
negara.
d. Perkembangan
yang selalu terdapat dalam kekuasaan dan negara menimbulkan rotasi dalam kekuasaan dan negara itu. Perkembangan
dan dinamika itu terjadi karena tidak ada sesuatu pun yang kekal di alam
semesta.
e. Bagi
Ibn Khaldun politik pada pokoknya dalah kerjasama dan saling toling – menolong.
Tumbuh kembanganya negara menurut
Ibn Khaldun yaitu negara didirikan atas dasar kepentingan bersama untuk
menciptakan keseimbangan sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan keamanan.
Negara merupakan asosiasi utama bagi terciptanya keseimbangan tersebut, karena
negara merupakan aktualitas kebebasan yang konkret. Melainkan kebebasan yang
dilindungi oleh peraturan perundangan. Faktor agama dalam sebuah negara menurut
Ibn Khaldun sangat penting.
Ibn Khaldun lebih melihat relasi
agama dan negara sebagai suatu keniscayaan, kendati agama bagi Ibn Khaldun
tidak dipotret dalam tataran ideal yang berbentuk abstrak, melainkan agama (
islam ) yang disaksikan, dijalankan dan dipraktikan oleh masyarakat pada
zamannya. Agama tidak hanya sekedar dogma abstrak, tetapi agama yang seluruh
ajarannya menurut Ibn Khaldun harus menjadi jiwa bagi bangunan negara yang
mulia atau negara yang terhormat.
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan
dan perkembangan suatu negara, menurut Ibn Khaldun bahwa negara terbentuk
melalui proses kebudayaan, seperti ditulisnya berikut “ sejarah identik dengan
peradaban dunia “ tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban seperti
keliaran, keramah – tamahan, dan solidaritas golongan. Suatu negara dalam
pandangan Ibn Khaldun akan terbentuk dari suatu proses politik yang tidak hanya
melalui jalan damai, tetapi justru banyak terjadi dalah melalui revolusi dan
pemberontakan.
2. Pemikiran
Ekonomi Ibn Khaldun
1. Dimensi
Ekonomi dalam Filsafat Ibn Khaldun
Berdiri dan tegaknya suatu
masyarakat, bangsa dan negara menurut Ibn Khladun akan ditentukan oleh
stabilitas ekonomi, oleh karena itu suatu negara berdiri atas pastisipasi
masyarakat dengan membayar pajak atau zakat sesuai dengan yang di sunnahkan
oleh agama.
a. Filsafat Ekonomi Ibn Khaldun
Dalam
kaitannya dnegan eksistensi manusia antar interaksi kekuatan-kekuatan sosial
dalam masyarakat menurut Ibn Khladun akan ditentukan pula oleh orientasi
tindakan sosial individu dalam mencapai kesejahteraan kolektif.
Untuk
mencapai kebahagiaan menurut Ibn Khaldun dapat dilakukan dengan meningkatkan
penerimaan negara melalui sumber-sumber pendapatan negara yang bersumber dari
masyarakat sendiri dengan menerapkan sistem pajak. Selain pajak, menurut Ibn
Khaldun, negara juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran dengan
menerapkan sitem bea cukai. Hasil dari pajak dan bea cukai itu akan
dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan para abdi negara seperti tentara,
administrator, maupun pegawai-pegawai yang bekerja untuk memperlancar urusan
kenegaraan.
b.
Prinsip Ekonomi Modern
dalam Pemikiran Ibn Khaldun
Dalam
muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan
keterkaitan faktor-faktor sosial, moral, ekonomi dan politikyang saling berbeda
namun saling berhubungan satu dengan yang lainnya begi kemajuan maupun
kemunduran bagi sebuah lingkungan masyarakat atau pemerintahan sebuah wilayah
(negara)
Aspek
ekonomi penting dalam pemikiran Ibn Khaldun berkaitan erat dengan kehidupan
kemanusiaan dan survive-nya seseorang
dalam kehidupannya. Motivasi kerja dan usaha diorientasikan sepenuhnya pada
penumpukan modal (kapital), tetapi bermakna secara hakiki bagi survive
seseorang dalam kehidupan sosialnya.
c. Produksi
dan Pembagian Kerja dalam Teori Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun melihat secara mendasar yang membedakan kedua jenis masyarakat adalah
peradaban dan proses produksi serta dalam pembagian kerja dalam masyarakat.
Tipologi yang direfleksikan oleh masyarakat badawa
adalah tipologi masyarakat yang identik dengan
pertanian dan cocok-tanam, sementara masyarakat hadharah merefleksikan peradaban kota yang pola produksi dan
pembagian kerjanya berdasarkan keahlian.
1. Proses
produksi masyarakat
2. Teori
nilai dalam proses produksi
3. Pembagian
kerja.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Ibn Khaldun seorang tokoh dan
pemikir muslim, nama lengkapnya Abd al-Rohman (Abu Zaid) bin Muhammad bin Abi
Bakar bin Hasan. Ia dilahirkan di Trus pada tanggal 17 Mei 1332 M, dari
keluarga Aristokrat yang berasal dari Hadramaut, dan wafat di Kairo pada 17
Maret 1406 M.
Teori
lain yang di kemukakan oleh Ibn Khaldun
1. Sosiologi
Politik Pokok Pemikiran Ibn Khaldun
2. Pemikiran
Ekonomi Ibn Khaldun
DAFTAR PUSTAKA
Jurdi,
Syarifuddin, 2012, Awal Mula Sosiologi
Modern, Yogyakarta: Kreasi Wacana
diakses pada Selasa, 26 Februari 2013 pukul 19.07
Label:
Materi kuliah
Langganan:
Postingan (Atom)