Manusia dan Filsafat

Manusia dan Filsafat 


A. Definisi Manusia 

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999) 

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005) 

Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999). 

B. Definisi filsafat 

Pengertian filsafat - definisi filsafat menurut para ahli 

Filsafat sejatinya merupakan konsep dasar mengenai kehidupan dan visi kedepan. Dalam suatu komunitas, filsafat dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebudayaan masing-masing. 

Dibawah ini merupakan pengertian dan definisi filsafat menurut para ahli :

Pengertian filsafat menurut Pudjo Sumedi AS., Drs.,M.Ed. dan Mustakim, S.Pd.,MM,
Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.

Pengertian filsafat menurut Plato
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.

Pengertian filsafat menurut Aristoteles
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

Pengertian filsafat menurut Al Farabi
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.

Pengertian filsafat menurut Cicero 
Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )

Pengertian filsafat menurut Johann Gotlich Fickte (1762-1814 )
Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.

Pengertian filsafat menurut Paul Nartorp (1854 – 1924 )
Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .

Pengertian filsafat menurut Imanuel Kant ( 1724 – 1804 )
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.

Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )

Pengertian filsafat menurut Notonegoro
Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.

Pengertian filsafat menurut Driyakarya
Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.

Pengertian filsafat menurut Sidi Gazalba
Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.

Pengertian filsafat menurut Harold H. Titus (1979 )
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi;

Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan;

Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep );

Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.

Pengertian filsafat menurut Hasbullah Bakry
Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.




Pengertian filsafat menurut Prof. Dr.Mumahamd Yamin
Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

Pengertian filsafat menurut Prof.Dr.Ismaun, M.Pd.
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.

Pengertian filsafat menurut Bertrand Russel
Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.




C. Hubungan Manusia dan Filsafat 



Sejak kita menjadi manusia, maka seringkali disadari ataupun tidak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar seperti “Apakah Tujuan Hidup Kita ?”,”Apa perbedaan mendasar antara Manusia dengan Binatang ?”, “Apa makna kita hidup dalam dunia ini?” dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya disebut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Untuk menjawab pertanyaan–pertanyaan tersebut ada beberapa cara yang dapat di tempuh apakah melalui dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci kegamaan, apakah melalui metode ilmiah atau biasa kita sebut dengan sains atau kita melakukan penalaran filsafatis. 

Bila kita mencari jawabannya melalui dogma-dogma agama maka jalan ini tidak akan membawa pada kepuasan intelektual dikarenakan Religions way of knowledge yang seringkali tidak menggunakan argumentasi yang kritis di samping dominannya klaim kebenaran (truth claim) apalagi bila kita dihadapkan dengan pluralitas paham keagamaan, bayangkan apabila setiap agama memberikan jawaban yang dogmatik, maka hal ini akan membawa kita kepada kebingungan. Sedangkan jika kita melalui jalan sains maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang positivistik, alih-alih mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis malah yang terjadi adalah gambaran manusia yang operasionalistik mekanistik dan ini akan mereduksi kompleksitas dimensi keberadaan manusia. Untuk mengantisipasi kedua hal di atas maka kita dapat menggunakan penalaran filsafatis, filsafat dapat mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara berpikir positivistik dari sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama dan sains, agama dan sains dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian diperluas dan di elaborasi lanjut dengan pisau filsafat.Walaupun kita menggunakan pisau filsafat ini tidak berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai kepada gambaran manusia apa adanya. Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban final tetapi untuk mencari kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru. 

Salah satu titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat adalah pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang bersangkutan apakah realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas material atau juga termasuk realitas ide, abstrak atau yang immaterial. Tapi di sini kita tidak akan mempertajam membahas hal tersebut. 

Kita mungkin telah mengetahui apakah secara teoritif ataupun secara intuitif bahwa hal yang paling mendasar dari segala realitas apakah itu diri kita ataupun benda-benda yang ada disekitar kita atau realitas imajianal yang kita beri pengakuan padanya adalah keberadaan/wujud/eksisten. Keberadaan adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas. Kalau kita membawanya ke dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah limpahan anugerah paling awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas tersebut melakukan atau dikenai kejadian apapun. Apalah artinya keharuman bunga mawar jika bunga mawarnya tidak memiliki kebaradaan, apalah artinya ketampanan apabila menusia yang dapat menyandang predikat tersebut belum menyandang keberadaan. Bahkan sebelum kita berpikir apa-apa yang sifatnya teoritik konseptual kesadaran akan keberadaan diri kita adalah sesuatu yang sifatnya primordial jadi sifatnya lebih intuitif dibanding hasil dari penalaran. Saya ada dulu sebelum saya membahas keberadaan dalam tulisan ini.Menurut saya kesadaran akan keberadaan adalah kesadaran yang tertua atau paling purba,kita tidak akan memakan makanan kalau kita tidak yakin jika diri kita ada dan objek makanan kita ada pula. 

Setelah kita mengetahui bahwa diri kita ada, pertanyaan yang muncul adalah apakah ada perbedaan antara beradanya manusia dengan beradanya benda-benda dan makhluk lain selain manusia. Jawabannya adalah positif.Secara intuitif pula kita dapat membedakan diri kita sebagai manusia dengan benda-benda mati di sekitar kita semisal batu,pasir dan meja begitu pula dengan tumbuhan dan binatang atau hewan. Kita sebagai manusia selalu merasa sewot dengan sekitar kita, kita sewot dengan tatanan rumah kita, kita sewot dengan cita rasa makanan kita, kita sewot dengan penampilan kita, kita sewot dengan kebradaan tumbuhan dan binatang disekitar kita,kita adalah makhlukh yang selalu ingin campur tangan terhadap alam ini.Kita merasa bukan sebagai manusia yang utuh apabila kita hanya makan, buang air dan istirahat, kita membutuhkan sesuatu yang lain yaitu mengotak-atik secara kognitif dan pragmatis realitas disekitar kita.Itulah manusia tidak hanya eksisten, ada secara sederhana, ada dalam realitas tapi manusia melampaui itu, manusia bereksistensi/ ada secara dinamis/ bersama dalam realitas.Manusia menyadari selalu ada perubahan pada dirinya dan lingkungannya apakah itu cepat atau lambat dengan kata lain manusia bukan hanya ada tetapi mansia selalu mengalami proses menjadi (becoming) dan ingin campur tangan dengan proses kemenjadiannya itu, dia ingin mengarahkan kemenjadiannya, dialah yang ingin meciptakan apa jadinya dirinya di masa depan. Itulah sebabnya mengapa manusia dalam filsafat perennial disebut dengan teomorfis atau makhlukh penjelmaan Tuhan di muka bumi, karena dia ingin menandingi kesibukan Tuhan. 

“Kesibukan”, merupakan ciri manusia menurut Martin Heidegger. “Kesibukan” membuat manusia selalu resah dan tidak tenang. Dunia bagi manusia bukanlah sesuatu yang ‘apa adanya” tetapi keberadaanya selalu di “apakan” dan di “bagaimanakan”. Dunia bagi manusia bukanlah dunia yang telanjang, tetapi dunia yang dibungkus dengan persepsi-persepsi kemanusiaan. 

Antara manusia dan dunia terjalin hubungan yang sangat mesra. Tanpa manusia kita tidak bisa membayangkan kata “dunia” sekalipun bisa lahir, karena “dunia” merupakan penanda yang sifatnya manusiawi terhadap petanda dunia riil yang berada diluar manusia, walaupun begitu penanda ini takkan bisa berhasil mewakili referensi objektifnya dengan transparan, selalu ada distorsi makna.Tanpa dunia manusia tidak akan ada , karena dunia merupakan rahim eksistensi manusia. Dunia membuat manusia menubuh, sekaligus panggung untuk menampakkan daya ruhaninya. 

Filsafat ada untuk membantu manusia memaknai dirinya dan dunianya. Filsafat akan terus menerus melahirkan pertanyaan-pertanyaan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang tiada batasnya. Kemungkinan-kemungkinan pemaknaan ini merupakan cermin bagi kemungkinan-kemungkinan cara mengada dari manusia. 



Karena ada banyak bidang spesialisasi yang berkaitan dengan manusia, mulai dari mereka yang didirikan di atas pengetahuan akal sehat sifat manusia sepanjang jalan ke seni dan ilmu pengetahuan, itu sama sekali tidak jelas pada pandangan pertama apakah manusia mempunyai kebutuhan lanjut filsafat untuk mengetahui dirinya sendiri. Begitu saja akan terlihat filosofi yang bisa mencapai tingkat yang benar-benar ilmiah hanya dengan pengecualian manusia dari yayasan sangat nya sebagai suatu disiplin, yaitu, melalui kritik anthropologism. Filsafat tiba di masalah manusia pada pita yang terlambat, mencapai sintesis atau generalisasi semata-mata atas dasar beberapa daerah lain spesialisasi, dan di sisi lain terlampau, karena tugas tertentu bisa saja dilakukan oleh beberapa lain, lebih khusus disiplin. 

Pengertian pengetahuan umum tentang sifat manusia adalah, praktis penolakan menjemukan romantisme antropologi, untuk itu mengemukakan manusia sebagai setiap saat konfigurasi kepentingan dan sikap menyakitkan hati. Pelajaran dari utilitarianisme duniawi yang tersirat dalam bentuk pengetahuan, dimana manusia memandang manusia sebagai pesaing atau teman, tetangga atau master, penderita sesama atau kenalan, rekan atau bawahan, dan sebagainya. Melalui hubungan utilitarian sehari-hari, keakraban dengan karakter manusia, dengan kecenderungan dan kebiasaan, dibangun, dan pengetahuan ini kemudian menjadi didirikan sebagai kearifan masyarakat atau sebagai kebenaran praktis dan umum, seperti: laki-laki penipu, sifat manusia yang berubah-ubah, homo Homini Lupus. Machiavelli nasihat kepada para penguasa untuk bagaimana mereka mengatur bersandar di bagian atas ini jenis pengetahuan: "Adapun laki-laki, biarkan berikut dikatakan dari mereka pada umumnya: mereka tanpa pamrih, berubah-ubah, penipu, pengecut, serakah, asalkan Anda menunjukkan diri Anda untuk menjadi layak untuk mereka, mereka akan dengan Anda tubuh dan jiwa, dan akan menawarkan darah mereka, harta mereka, kehidupan mereka, dan anak-anak mereka, asalkan Anda tidak membutuhkan hal-hal itu, tetapi secepat Anda membutuhkan mereka, mereka akan memberontak terhadap Anda "(The Prince, Bab 17.). Hegel menganggap ini semacam pengetahuan tentang sifat manusia untuk menjadi berguna dan diinginkan, khususnya dalam kondisi politik yang buruk, ketika kehendak sewenang-wenang dari seorang individu yang mengatur dan hubungan antara manusia yang didirikan di atas intrik, tetapi pengetahuan itu sama sekali tanpa nilai filosofis, untuk itu tidak bisa bangkit dari pengamatan cerdas kejadian individu kesempatan untuk pemahaman karakter manusia secara umum. 

Dalam hal ini pendekatan akal sehat untuk pengetahuan sifat manusia, manusia tidak menjadi dikenal, melainkan berbagai fungsi nya ditetapkan dan dievaluasi dalam kerangka sistem tetap. Ini bukan karakter (esensi) manusia yang dibuat pusat perhatian, tetapi hanya fungsi nya. Dalam Sistem nya Pemerintahan dan Hukum, Machiavelli berhubungan dengan manusia seolah-olah dengan beberapa entitas dimanipulasi, seperti ilmu pengetahuan modern tidak ketika memandang manusia dalam sistem industri modern dari sudut pandang proses teknologi produksi, dan secara teratur menggambarkan dia sebagai komponen- "faktor manusia"-dalam proses ini. 

Seperti cara melihat sifat manusia tidak dapat melihat melalui persyaratan sendiri dan relativitas. Orang bijak duniawi disebut, yang menghitung pada kesombongan dan kenaifan, ambisi dan disuap, yang timidity dan kemalasan dari individu, dan yang melakukan transaksi diperpanjang dengan material manusia atas dasar perhitungan ini, tidak tahu bahwa kualitas atau fungsi benar-benar ada hanya dalam sistem umum manipulasi dan manipulability, sebuah sistem di mana mereka juga merupakan komponen yang tidak terpisahkan. Di luar sistem ini kualitas manusia mengalami transformasi, dan kebijaksanaan duniawi disebut kehilangan nilai dan makna. 

Penelitian antropologi modern mengemukakan kompleksitas manusia sebagai asumsi dasar, sehingga mencerminkan semangat metode ilmiah dan meningkatnya jumlah disiplin ilmu yang berkaitan dengan studi manusia. Manusia adalah makhluk yang rumit, dan tidak dapat dijelaskan oleh beberapa formula metafisik sederhana. Setiap salah satu kepentingan khusus nya ditetapkan sebagai subyek disiplin ilmiah independen, sehingga dapat dianalisa dengan tepat. Berbagai ilmu antropologi khusus telah mengumpulkan massa besar bahan, tercurah temuan berharga tentang manusia sebagai makhluk biologis, makhluk budaya, makhluk sosial, dan sebagainya. Namun, meskipun kekuatan ini prestasi ilmiah, manusia sebagai manusia tidak pernah begitu besar masalah karena dia hari ini. 

Perbedaan ini disebabkan konsepsi yang tidak tepat peran antropologi ilmiah. Ilmu-ilmu manusia berbagai sibuk dengan salah satu atau aspek khusus lainnya manusia. Ketika mereka menjelaskan pengamatan mereka sistematis, ilmu-ilmu ini melanjutkan dari sudut pandang mereka sendiri khusus untuk mengembangkan konsepsi manusia secara keseluruhan. Masalah yang mereka mengatasi sendiri diringkas dalam pertanyaan, Apakah manusia? Jawaban yang mereka berikan menambahkan hingga berbagai menyedihkan definisi, karena masing-masing memungkinkan itu sendiri lebih luas dan lebih luas dalam positing karakteristik mendasar manusia. Memang benar bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memproduksi alat-alat, tetapi juga berlaku untuk mengatakan dia adalah makhluk hidup yang mempekerjakan simbol, siapa tahu kematian sendiri, yang mampu mengatakan Tidak, yang merupakan makhluk sosial, dan seterusnya. Salah satu definisi tidak dapat membantah asumsi lain, untuk setiap aspek tertentu dari manusia terisolasi, dan tidak satupun dari mereka mampu, dari sudut pandang sendiri khususnya, memberikan gagasan dari seluruh manusia, konkret, dan sebagai suatu totalitas. 

Dalam mengejar pertanyaan, Apakah manusia?, Pertanyaannya, Siapa orang? adalah baik belum terjawab, atau disisihkan sama sekali. 

Selama hubungan antara kedua pertanyaan-Apakah manusia? dan Siapakah manusia?-dibiarkan belum ditemukan, semua upaya untuk mencapai sebuah sintesis dari data dirakit oleh cabang khusus berbagai antropologi akan tetap sia-sia. Hanya atas dasar konsepsi yang berbeda dan mapan manusia yang disiplin sintetis akan dapat menggambar bersama data dari ilmu-ilmu parsial berbagai menjadi pengetahuan terpisahkan manusia. Konsep manusia secara keseluruhan harus menjadi premis seperti sintesis. Jika sintesis akan menjadi salah satu sisi, apakah kita menyadari hal itu atau tidak, untuk itu akan dilakukan atas dasar beberapa mengejar ilmiah khusus, dan manusia sesuai akan biologized, physicalized, sociologized, economicized, irrationalized, atau sesuatu semacam itu. 

Jika manusia, dibagi menjadi ras dan bangsa, menciptakan budaya yang berbeda, mengatur dengan pemahaman dan belum diatur oleh diketahui, adalah seperti materi pelajaran ilmu pengetahuan, mengapa kemudian harus seperti keprihatinan manusia yang berbeda sebagai kebahagiaan, tanggung jawab individu, hubungan antara individu dan kolektif, arti kehidupan, dan sejenisnya, semua diabaikan? The "filsafat manusia" muncul menjadi ada dengan kesadaran bahwa Marxisme telah diabaikan tepatnya masalah ini, yang, dalam interval kritis, telah diambil oleh eksistensialisme. Dalam pengertian ini, "filsafat manusia" secara historis AC, dan tampaknya menjadi protes terhadap dehumanisasi, sebuah usaha untuk membuat manusia sekali lagi menjadi pusat perhatian. Tapi, sebaliknya, filosofi ini tidak dengan cara apapun membayangkan manusia sebagai titik awal, tetapi terlihat pada dia, bukan sebagai tambahan. Sekarang, karena kritik eksistensialis Marxis keterasingan dangkal pada landasan yang sangat mendasar, "filsafat manusia" ternyata tunduk pada kelemahan yang sama, meskipun itu dimaksudkan sebagai jawaban bagi mereka filosofi sebelumnya. 

The "filsafat manusia" tidak benar-benar berangkat dari masalah filosofis sifat manusia-jika melakukannya, itu akan tiba pada suatu pendekatan baru terhadap realitas pada umumnya, dan karenanya membentuk konsepsi baru itu-tetapi hanya menambahkan manusia untuk keretakan kritis yang dilihatnya dalam kenyataan. Karena sikapnya didasarkan pada gagasan manusia sebagai suatu penyelesaian, konsepsi adalah tentu satu sisi. The "filsafat manusia" tidak bisa secara rasional menjelaskan mengapa hanya pertanyaan seperti tanggung jawab individu, moralitas, dan kebahagiaan milik masalah sifat manusia, dan bukan pertanyaan seperti kebenaran, dunia, materi, karena, waktu, dan sejenisnya . Tidak sampai ke inti masalah, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang paling dasar dikeluarkan dari wilayahnya bunga, dan manusia dianggap secara terpisah dari masalah filosofis yang mendasar. Dengan demikian manusia adalah pada saat yang sama dibagi menjadi innerness dan outerness, menjadi subjektivitas dan objektivitas, dengan hasil bahwa "filsafat manusia" benar-benar ternyata peduli dengan hanya fragmen atau abstraksi dari manusia sejati, seperti innerness nya, subjektivitas nya , individualitasnya, dan sebagainya. 

Manusia tidak bisa lagi mengabaikan fakta keberadaannya di dunia ini daripada yang dapat menjelaskan dunia sebagai realitas tanpa termasuk manusia. Pertanyaan gnosiological, apakah dan bagaimana dunia dapat eksis secara independen dari manusia benar-benar mengandaikan manusia di dunia, sehingga ia bisa mengajukan pertanyaan ini. Manusia secara implisit termasuk dalam setiap konsepsi dunia (realitas), bahwa penjajaran ini tidak selalu jelas merupakan sumber mystifications sering. Untuk menerima kehadiran manusia adalah untuk membuat pernyataan tidak hanya tentang manusia, tetapi juga tentang realitas di luar dirinya: alam, keluar dari mana manusia dikembangkan dan di mana dia ada, pada prinsipnya berbeda dari alam tanpa manusia. Tidak hanya alam sehingga ditandai dengan adanya manusia sehingga menjadi manusiawi melalui sejarah, tetapi juga menunjukkan melalui keberadaan manusia karakter dinamis dan kapasitas produktif (terutama seperti yang terlihat dalam filsafat Schelling), kapasitas untuk memproduksi (selalu atau sengaja ), dalam kondisi tertentu dan dalam tahap tertentu, suatu "bahan yang sangat terorganisir, dilengkapi dengan kesadaran." Tanpa keberadaan manusia sebagai komponen alam, konsepsi alam sebagai natura naturans, yakni sebagai produktivitas dan aktivitas, tidak terpikirkan. 

Definisi, dipekerjakan oleh ilmu alam, manusia sebagai "bahan yang sangat terorganisir, dilengkapi dengan kesadaran," tidak benar-benar tanpa prasangka, dan tidak memiliki karakter nyata dari kebenaran abadi. Jika mereka yang mempekerjakan definisi ini tidak menyibukkan diri dengan prasangka, tetapi cukup tempatkan dalam kerangka ilmiah untuk penggunaan ahli biologi, ahli kimia, ahli embriologi, genetika, dan sebagainya, fakta ini tidak dengan cara apapun berbicara menentang filsafat, melainkan dalam mendukungnya. Definisi yang dikutip di atas tidak salah, melainkan menjadi palsu saat mencapai melampaui batas nya. Untuk itu mengandaikan suatu totalitas atau sistem yang menjelaskan manusia melalui sesuatu yang bukan manusia, yang berdiri di luar dirinya dan tidak karena sifatnya terikat dengan dia. Man itu di sini sebagai komponen alam, tunduk pada hukum-hukum alam. Tetapi jika harus semata-mata merupakan komponen totalitas ini bahwa ia tidak menciptakan (meskipun dia tahu hukum dan menggunakan mereka untuk tujuan sendiri), jika proses menembus dia dan hukum-hukum alam mengatur dirinya, namun hal ini tidak memiliki orang sebagai prasyarat, tetapi hanya memaksakan diri kepadanya, bagaimana fakta ini untuk berdamai dengan kebebasan manusia? Dalam kasus seperti itu, kebebasan hanyalah pengakuan keharusan. Sartre berpendapat terhadap konsepsi ini: 

Kita harus memilih: manusia pertama-tama sendiri atau pertama-tama Selain dirinya sendiri. . . Heidegger dimulai dengan Berada di untuk sampai pada interpretasi manusia. Metode ini membawa dia dekat dengan apa yang kita telah disebut dialektika materialis eksternal: itu juga, dimulai dengan Being (Nature tanpa penambahan apapun asing untuk itu) agar dapat sampai pada manusia. . . (Sartre, Critique de la Raison Dialectique). 

Namun argumen ini benar mungkin dalam hal kritik Sartre secara keseluruhan, dalam arti positif itu adalah problematis. Dalam pilihan apakah harus pertama-tama diri sendiri atau pertama-tama sesuatu selain diri sendiri, ada abstraksi tersirat atau pembagian konkrit asli (totalitas) manusia, yang pertama-tama dirinya hanya karena ia adalah pada saat yang sama sesuatu yang lain, dan yang adalah sesuatu yang lain hanya karena dia atau bisa menjadi dirinya sendiri. 

Berbeda dengan pertanyaan, Apakah manusia, yang ditimbulkan oleh penelitian ilmiah khusus, pertanyaan filosofis, Siapa orang?? selalu menyiratkan pertanyaan lain juga, yaitu, Apakah dunia (realitas)? Hanya dalam hubungan dunia manusia bahwa masalah sifat manusia dapat digenggam. Filsafat dalam arti sebenarnya dari kata tersebut selalu berkaitan dengan masalah sifat manusia, dalam pengertian ini, setiap filsafat adalah pada saat yang sama sebuah filsafat manusia. Namun, dalam rangka untuk menerangkan masalah sifat manusia dan menjadi filosofi sejati manusia, harus merumuskan sendiri tanpa syarat sebagai filsafat tidak-man, dengan kata lain sebagai penyelidikan filosofis ke dalam realitas yang berada di luar man. 

Untuk mengatakan kemudian bahwa pertanyaan, Siapa orang? adalah satu kompleks tidak untuk merujuk pada gagasan bahwa manusia memiliki, pernah berubah Proteus seperti alam. Sebaliknya, kompleksitas adalah karena, di tempat pertama, dengan fakta yang mengarah ke pertanyaan lain, dan bahwa tugas merumuskan dengan jelas, adalah proses panjang demistifikasi dan menyingkirkan penilaian terbentuk sebelumnya. 

Dan pertanyaan ini adalah kompleks, di tempat kedua, karena diselesaikan oleh filsafat, tanpa bantuan oleh bidang spesialisasi ilmu, dalam hal subjek filsafat yang tepat dan asli: hubungan antara manusia dan dunia. Hanya dalam kerangka masalah filosofis bahwa pertanyaan, Siapa orang? dapat ditangani. Jika filsafat mengecualikan manusia dari materi pelajaran, atau mengurangi dia, sehubungan dengan realitas di luar manusia, ke salah beberapa aspek atau produk, maka upaya menjadi sesat, mengikuti garis, cepat atau lambat kehilangan karakter benar-benar filosofis dan mengubah sendiri baik ke dalam disiplin teknis logis atau ke dalam mitologi. Perlu dicatat bahwa seperti bertentangan kecenderungan sebagai filsafat Heidegger kemudian di satu sisi dan positivisme modern pada ujung atas baik dengan mitologi bahasa (bahasa sebagai "rumah Berada" di Heidegger) atau dengan analisis bahasa ( Carnap: "A, yaitu filosofis, penyelidikan, logis harus menjadi analisis bahasa"). Karena Wujud manusia terdiri dalam hubungannya dengan manusia, hal-hal dan realitas eksternal bagi manusia, hubungan ini dapat dilepaskan dari konfigurasi tertentu dan dinaikkan sampai Menjadi, yang "itu sendiri," seperti Heidegger mengatakan, penjelasan manusia kemudian hasil atas dasar mistifikasi ini. 

Filosofi yang disebut manusia benar-benar melewati manusia oleh, karena tidak membangun hubungan antara masalah sifatnya (antara masalah lain) dan pertanyaan tentang kebenaran. Di sisi lain, berbagai teori kebenaran tiba di kesimpulan masuk akal ketika mereka tidak mempertimbangkan hubungan antara kebenaran dan masalah sifat manusia. Setelah semua, tidak Husserl, dalam Pertanyaan logis nya mengenai kritik psychologism dan relativisme, jatuh ke dalam idealisme objektif karena dia tidak memperjelas hubungan antara kebenaran obyektif dan keberadaan manusia? Husserl mengatakan benar bahwa kebenaran kehilangan maknanya bila isi dari subjek mengetahui, yang atas hukum itu tergantung. Dalam suatu kebenaran kasus ini berubah menjadi ketergantungan subjek mengetahui, sehingga kalimat, menjadi "spesies lain, undang-undang lain berpikir, kebenaran lainnya" berlaku. Bagi Husserl, hubungan antara manusia dan kebenaran adalah salah satu antara subjek mengetahui, dengan keterbatasannya, dan alam abadi nilai ideal. Ini dunia yang ideal kebenaran ada independen tidak hanya cerdas yang-baik sebagai orang tertentu atau sebagai spesies manusia pada umumnya-tetapi juga dari dunia eksistensi ruang real time. Bahkan jika tidak ada ada, keberadaan kebenaran tidak akan dasarnya menjadi berbeda. Hukum-hukum Newton ada secara independen dari keberadaan materi, meskipun karakter dan hubungan adalah apa yang memberikan ekspresi kepada hukum-hukum ini: "Apakah semua massa gravitasi akan dimusnahkan, hukum gravitasi tidak akan demikian harus disingkirkan, tetapi hanya akan tetap tanpa kemungkinan aplikasi faktual ". [1] Ini konsekuensi idealis tidak tanpa kaitannya dengan masalah sifat manusia, dan mereka berakhir di dunia manusia kesewenang-wenangan dan ketidakbenaran. Karena, menurut Husserl, kebenaran keberadaannya tidak tergantung dari manusia, yang dapat menyadari kebenaran tetap dan abadi hanya dalam pengetahuannya tentang itu, maka manusia di alam sendiri tidak selaras dengan kebenaran dan dalam prakteknya dikecualikan dari itu. Menurut teori ini, kebenaran benar dapat dikejar hanya dalam matematika dan logika, sedangkan ranah manusia dan sejarah, dikecualikan dari pengejaran ini, menjadi mangsa tidak-kebenaran. 

Dalam Husserl karyanya tidak menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah fakta bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengetahui kebenaran obyektif (yaitu, kebenaran yang isinya independen dari individu mengamati dan kemanusiaan) tidak menunjukkan bahwa manusia yang sangat menjadi memiliki suatu penting hubungan dengan kebenaran. Jika manusia memandang kebenaran obyektif (yang Husserl tidak ragu akan terjadi), maka fakta ini sangat mencirikan dirinya sebagai makhluk yang memiliki akses terhadap kebenaran, sehingga ia tidak hanya tertutup dalam subjektivitas ras, jenis kelamin, dari sejarah waktu, kontingensi, dan partikularitas. Siapa yang esensi dalam yang Menjadi berakar, dengan cara yang unik, baik proses sosial-manusia dan realitas extrahuman? Siapa esensi yang Menjadi ditandai melalui kedua produksi praktis dari realitas manusia sosial dan reproduksi spiritual dari realitas manusia dan extrahuman, realitas secara umum? 

Ini adalah keunikan manusia Menjadi bahwa kita dapat merasakan hubungan batin antara kebenaran esensial dan manusia. Realitas manusia adalah bahwa titik di mana kebenaran tidak hanya mengungkapkan (dirasakan), tetapi juga diwujudkan. Untuk keberadaannya, kebenaran membutuhkan seorang pria, sama seperti manusia membutuhkan kebenaran. Ini hubungan yang saling tergantung berarti bahwa manusia, dalam hubungannya dengan kebenaran, tidak ada subjek mengamati belaka, tapi juga merupakan esensi yang menyadari kebenaran. Karena untuk berbicara tentang objektivitas kebenaran bukan untuk mengidentifikasi dengan realitas objektif, melainkan hanya untuk menggambarkannya sebagai sebuah entitas yang ada, dan, dalam istilah sendiri, kebenaran dipandang tidak hanya isi persepsi, tetapi juga semangat realitas. Sejak Makhluk manusia memiliki jenis struktur melalui mana Makhluk realitas extrahuman (alam) dan bahwa realitas manusia terungkap sendiri dalam cara tertentu, sejarah manusia dapat dianggap sebagai suatu proses di mana kebenaran membedakan dirinya dari bukan kebenaran. 

D. Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia 

Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia disebut Antropologi Filsafat. Hakikat berarti adanya berbicara menganai apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme 

Aliran Serba Zat 

Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi. 

Aliran Serba Ruh 

Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, peubahan atau penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya. 

Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan. 

Aliran Dualisme 

Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak bersal dari ruh dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi. 

Aliran Eksistensialisme 

Aliran filsafatr modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini. 

Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Pendirian Islam bahwa manusia terdiri dari subtansi, yaitu meteri dari ilmu dan ruh yang berasal dari Tuhan, maka hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital