Penyelesain Sengketa di Luar Pengadilan


Penyelesaian sengketa melalui pengadilan resmi, pada umumnya memakan waktu lama dan membutuhkan biaya yang besar karena faktor prosedur sistem peradilan sangat kompleks dan berbelit – belit. Bahkan untuk suatu kasus perdata dapat dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan sengketa sampai pada putusan hakim dibacakan. Tidak hanya itu, putusan yang telah keluar dari pengadilan pun belum tentu memberikan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa sehingga mereka mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali. 

Hal itu membuat proses penyelesaian sengketa mereka menjadi sangat tidak efektif dan efisien. Terlebih jika para pihak mempunyai kesibukan sendiri sehingga hanya punya waktu terbatas untuk mengikuti proses penyelesaian sengketa. 

Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan adanya alternative lain dalam penyelesaian sengketa. Caranya dengan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). APS merupakan salah satu alternatif dalam upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Istilah APS ini merupakan terjemahan dari Alternative Disputes Resolution (ADR). Bentuk-bentuk APS yang dikenal di Indonesia adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872 selanjutnya disebut Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999. 

Di Indonesia, APS sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kekeluargaan. Apabila timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih tersebut memilih menyelesaikannya secara adat pula misalnya melalui tetua adatnya atau melalui musyawarah. Sesungguhnya penyelesaian sengketa secara adat ini yang menjadi benih dari tumbuh kembangnya APS di Indonesia. 

Pengertian Sengketa 

Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus – menerus dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup dalam masyarakat. Namun, mengingat kepentingan manusia sangat banyak dan beragam, di dalam melakukan interaksi satu sama lain manusia selalu dihadapkan pada potensi – potensi untuk terjadi sengketa. Hal ini dapat terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. 

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa. 

Secara umum sengketa terbagi dalam dua macam, yaitu sengketa menyangkut kontrak dan yang bukan menyangkut kontrak. Sengketa menyangkut kontrak dapat dibagi lagi menjadi sengketa pengusaha dengan pengusaha dan sengketa pengusaha dengan konsumen. Namun sebagai konsekuensinya, dari pengusaha ke konsumen telah memunculkan pula sengketa antara konsumen dengan konsumen. Sengketa menyangkut kontrak dapat terjadi, misalnya jika layanan yang dilakukan oleh penyedia jasa sangat buruk. 

Sengketa dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul–klausul perjanjian maupun tentang apa isi dari ketentuan – ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal – hal lainnya.Secara umum, orang tidak akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak menyenangkan, di mana seseorang (pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus menghadapi situasi rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga dapat mempengaruhi kedudukannya. 

Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses ajudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan dan arbitrase serta proses penyenyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melaului konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. 



Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan 

A. KONSULTASI 

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi(consultation) adalah : 

Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject. 

Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. 

Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. 

B. NEGOSIASI 

A. Pengertian Negosiasi 

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang didesain untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau berbeda. Komunikasi tersebut dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Negosiasi menurut Fisher dan Ury (1991) adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. 

Negosiasi dilakukan apabila digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang tidak terlalu rumit, di mana para pihak berkeinginan untuk memecahkan masalahnya. Dengan adanya itikad baik dan rasa saling percaya para pihak berusaha untuk dapat memecahkan masalahnya agar tercapai kesepakatan. 

B. Ciri-Ciri Negoisasi 

Terdapat beberapa karakteristik yang umum terdapat dalam negotiation situations yang merupakan ciri-ciri negoisasi, yaitu : 

1. Terdapat dua atau lebih pihak, baik individu, kelompok, maupun organisasi di mana mereka saling berkomunikasi. 

2. Terdapat konflik kepentingan di antara para pihak tersebut dan mereka berusaha mencari cara untuk mengatasi konflik tersebut. 

3. Masing-masing pihak berpikir bahwa ia dapat menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik daripada hanya menerima apa yang pihak lain berikan. 

4. Para pihak merasa lebih baik mencari kesepakatan daripada harus bertengkar secara terbuka. 

5. Para pihak saling mengharapkan perubahan atas tuntutan masing-masing. 

6. Kesuksesan dalam bernegoisasi melibatkan pengelolaan sesuatu yang tak berwujud, yaitu kondisi psikologis yang secara langsung atau tidak langsung memepengaruhi para pihak selama berlangsungnya negoisasi. 

C. Teknik Negoisasi 

Secara umum terdapat beberapa teknik negoisasi yang dikenal masyarakat yaitu : 

1. Teknik negoisasi kompetitif 

Unsur-unsur yang menjadi ciri negoisasi kompetitif adalah sebagai berikut : 

a. Mengajukan permintaan awal yang tinggi di awal negoisasi. 

b. Menjaga tuntutan agar tetap tinggi sepanjang proses negoisasi dilangsungkan. 

c. Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas. 

d. Secara psikologis, perunding yang menggunakan teknik ini menganggap perunding lain sebagai musuh. 

e. Menggunakan cara-cara yang berlebihan dan melemparkan tuduhan-tuduhan dengan tujuan menciptakan ketegangan dan tekanan terhadap pihak lawan. 

2. Teknik negoisasi kooperatif 

Teknik negoisasi kooperatif menganggap pihak negoisator lawan bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra kerja untuk mencari common ground. Para pihak berkomunikasi untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama, dan bekerja sama. Hal yang dituju oleh sang negoisator adalah penyelesaian sengketa yang adil berdasarkan analisis yang objektif dan atas fakta hukum yang jelas. 

3. Teknik negoisasi lunak 

a. Negoisator adalah teman 

b. Tujuan perundingan adalah kemenangan 

c. Memberi konsesnsi untuk menjaga hubungan baik 

d. Mempercayai perunding lawan 

e. Mudah mengubah posisi 

4. Teknik negoisasi keras 

a. Negosiator dipandang musuh 

b. Tujuan untuk kesepakatan 

c. Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari pembinaan 

d. Keras terhadap orang maupun masalah 

e. Tidak percaya perunding lawan dan memperkuat posisi 

5. Teknik negoisasi interest based 

Teknik ini merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan teknik keras-lunak. Teknik ini dipilih karena pemilihan teknik keras berpotensi menemui kebuntuan dalam negoisasi, terlebih apabila bertemu dengan sesama perunding yang bersifat keras, sedangkan perunding lunak berpotensi sebagai pecundang. 

D. Tahap-Tahap Negoisasi 

Howard Raiffia dalam pengamatannya membagi tahap-tahap negoisasi menjadi : 

1. Tahap persiapan 

Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang dipersiapkan adalah apa yang kita butuhkan (know yourself). Hal kedua adalah know your adversaries. Kita perlu memperkirakan tentang kepentingan dan kebutuhan alternatif mereka. Tindakan selanjutnya adalah merencanakan hal yang berkaitan dengan negotiating conventions, seberapa jauh kita harus memepercayai perunding lawan. 

2. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit) 

Dalam tahap ini biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu menyampaikan tawaran. Apabila kita menyampaikan tawaran awal dan perunding lawan tidak siap, terdapat kemungkinan tawaran pembuka kita mempengaruhi persepsi tentang reservation price dari perunding lawan. 

3. Tahap Pemberian Konsesi 

Dalam tahap ini seorang perunding harus dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresifitas serta harus bersikap manipulatif. Yang lebih penting adalah kemampuan negosiator memainkan peran dalam konsesi dan menjaga penawaran sampai pada tingkat yang diinginkan. 

4. Tahap Akhir Permainan 

Tahap akhir permaianan adalah pembuatn komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya. Negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhinya, meliputi hal-hal sebagai berikut : 

a. Pihak-pihak bersedia bernegoisasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh. 

b. Pihak-pihak siap melakukan negoisasi. 

c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan. 

d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan. 

e. Mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah 



C. MEDIASI 

Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak sengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. 

Persyaratan Mediator 

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yaitu : 

· Cakap melakukan tindak hokum 

· Berumur paling rendah 30 tahun 

· Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan) 

· Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. 

Selain itu, mediator (atau pihak ketiga lainnya) harus memenuhi syarat sebagai berikut : 

· Disetujui oleh para pihak yang bersengketa 

· Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dengan salah satu pihak yang bersengketa. 

· Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa 

· Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. 

Tahap-tahap dalam proses mediasi tersebut adalah sebagai berikut : 

a. Pada umumnya para pihak setuju untuk lebih dulu memilih seorang mediator atau dapat pula minta bantuan sebuah organisasi mediasi untuk menunjuk atau mengangkat mediator. 

b. Kadang – kadang dapat terjadi bahwa suatu mediasi dimulai dan seorang mediator diangkat oleh pengadilan. Hal itu menyebabkan ketentuan tentang bagaimana proses beracara secara formal menjadi berlaku. 

c. Dalam banyak kasus ( khususnya di luar negeri ) terdapat konferensi awal atau konferensi jarak jauh di mana masalah prosedural disepakati. Sering kali, pada tahap itu, para pihak saling menyampaikan posisi masing – masing secara tertulis sebelum mediasi sebenarnya dilaksanakan. 

d. Mediasi dapat dilaksanakan di mana pun, setiap tempat, yang dinilai nyaman dan menyenangkan oleh para pihak. 

e. Dalam mediasi, pada umumnya para pihak bertemu secara bersama, dimana mediator menyampaikan kata pembukaan dan menjelaskan proses mediasi. 

f. Dalam pertemuan dengan para pihak, mediator akan mengundang dan berbicara dengan salah satu pihak secara pribadi dan rahasia selama berlangsungnya mediasi. 

g. Jika muncul rasa permusuhan yang sangat kuat sehingga para pihak tidak siap mengadakan pertemuan bersama, hal itu tidak membuat gagalnya mediasi, yang dibutuhkan adalah pera yang lebih aktif di pihak mediator. 

h. Prose situ sangat fleksibel dan dibentuk dengan pengarahan mediator yang akan menyesuaikannya atas kekhususan perselisihan agar masih dalam jangkauan dan memperkuat setiap tahap yang telah dicapai. 

Berakhirnya Mediasi 

a. Apabila tercapai suatu kesepakatan, para pihak akan menandatangani sebuah dokumen penyelesaian yang selanjutnya akan dip roses ke dalam bentuk perjanjian yang mengikat. 

b. Jika kesepakatan tidak tercapai, para pihak dapat mengakhiri mefiasi dengan mengajukan pengunduran diri dari proses mediasi (secara tertulis kepada mediator dan pihak lainnya) 

D. KONSILIASI 

Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut dengan konsiliasi. Penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara konsensus antarpihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. 

Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang puas atau tidak sesuai dengan tuntutannya dapat mengajukan surat gugatan ke PHI. 

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi ini harus tuntas dalam waktu 30 hari kerja, terhitung sejak menerima permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang beperkara dalam satu perusahaan. 

E. ARBITRASE 

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah – olah member petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. 

Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu : adanya suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan final dan mengikat akan dijatuhkan. 

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa“. Dari pengertian Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang. 

Pengaturan Arbritase di Indonesia 

Dalam peraturan di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, ketentuan – ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 sampai Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvorderin (Rv), yang merupakan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka. 

a. Pasal 377 HIR 

Tata hukum di Indonesia memiliki aturan mengenai arbritase. Landasan hukumnya bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. 

Pasal ini menegaskan hal – hal sebagai berikut : 

1. Pihak–pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase. 

2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan. 

3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter “ wajib “ tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa bangsa atau golongan Eropa. 

b. Pasal 615 – 651 Rv 

Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan aturan keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan pasal 377 HIR. Akan tetapi, HIR maupun RBG tidak memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase, Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal–pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata. Hal itu jelas terbaca dalam kalimat “wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”). 

Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata meliputi lima bagian pokok berikut : 

1. Bagian pertama (615 – 623) : Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbiter. 

2. Bagian kedua (624 – 630) : Pemeriksaan di muka badan arbitrase. 

3. Bagian ketiga (631 – 640) : Putusan arbitrase. 

4. Bagian keempat (641 – 647) : Upaya–upaya terhadap putusan arbitrase. 

5. Bagian kelima (647 – 651) : Berakhirnya acara – acara arbitrase. 

Penggunaan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847 : 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941 : 44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad 1927:227) sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan ketentuan dagang yang bersifat internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan conditio sine qua non dan perlu perubahan secara substantive dan filosofis atas pengaturan mengenai arbitrase yang ada. 

Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Undang – Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan Internasional. Ketentuan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847 : 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui dan pasal 705 Reglemen acara untuk daerah luar jawa dan Madura sudah tidak berlaku. 

Jenis – jenis arbitrase menurut Rv yaitu : 

a. Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase) 

Disebut dengan arbitrase ad hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanan atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan hal–hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang – undang. 

b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase) 

Arbritase Institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara – negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri – sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri pada aturan –aturan main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan – peraturan yang berlaku untuk masing–masing lembaga tersebut. 

Arbitrase Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga (Institution)tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. 

Syarat-syarat arbritase 

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa adalah sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan perjanjian tertulis arbitrase harus memuat : 

1. Masalah yang dipersengketakan 

2. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak 

3. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter 

4. Tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan 

5. Nama lengkap Sekretaris 

6. Jangka waktu penyelesaian sengketa 

7. Pernyataan kesediaan dari arbiter 

8. Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 

Apabila perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat– syarat seperti yang disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi dalam Pasal 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan alasan – alasan sebagai berikut : 

1. Meninggalkan salah satu pihak 

2. Bangkrutnya salah satu pihak 

3. Novasi 

4. Insolvensi salah satu pihak 

5. Pewarisan 

6. Berlakunya syarat – syarat hapusnya perikatan pokok 

7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut 

8. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok 

Dalam hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka apabila timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e- mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. 

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas 

a. Nama dan alamat 

b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku 

c. Perjanjian atau masalah yang terjadi sengketa 

d. Dasar gugatan dan jumlah yang digugat, apabila ada 

e. cara penyelesaian yang dikehendaki 

f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil 

Mekanisme Arbritase 

Pada prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan acara arbitrase ini harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila sudah ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian sengketa dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan mengebnai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, maka arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila: 

a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu, misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan 

b. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya, atau 

c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan 

Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak, atau diperiksa dan diputus menurut ketentuan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis tetapi tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sengketa dilakukan secara lisan apabila hal ini disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase . dalam pemeriksaan sengketa, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing – masing dan para pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan dengan kuasa khusus. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. 

Surat gugatan tersebut harus memuat sekurang – kurangnya : 

a. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak 

b. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti – bukti. Dalam hal ini salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran Isi gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti. Setelah menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut oleh termohon. Apabila setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan jawabannya, maka termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka sidang arbitrase selambat– lambatnya 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu. Kepada termohon akan diperintahkan untuk menyerahkan salinan jawaban kepada pemohon Arbiter atau majelis Arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka sidang arbitrase selambat – lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya perintah itu. Apabila selambat – lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan dilakukan, termohon masih juga tidak datang kemuka persidangan tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan gugatan pemohon dikabulkan seluruhnya kecuali apabila gugatan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Apabila para pihak datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan membuat akta perdamaian . akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbitrase, bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya apabilla usaha perdamaian yang dilakukan arbiter atau majelis arbitrase tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan 

Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase 

Kelebihan Arbitrase 

Badan arbitrase komersial Internasional ini sekarang menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan – alasan para pengusaha menyukai badan ini daripada pengadilan nasional bermacam – macam. Yakni: 

a. umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat penguasa (bisnis), sedangkan arbitrase komersial internasional merupakan pengadilan pengusaha yang eksis untuk menyelesaikan sengketa–sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan mereka. 

b. Banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim–haki yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional, sehingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase. 

c. Berperkara melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya administratif (untuk pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk arbitrator adalah US$ 650 per hari plus biaya – biaya perjalanan dan biaya hidup lainnya. 

d. Berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Hakim, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat dengan aturan – aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional. 

e. Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil – formilan ini nantinya berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara. 

f. Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu. 

g. Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha. 

h. Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya. 

i. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum ( tertentu saja), tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak. 

Kekurangan Arbitrase 

Meskipun arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah dikemukakan di atas, namun di dalam prakteknya pun ternyata arbitrase memiliki kelemahan–kelemahan yakni: 

a. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak harus sepakat. Padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang –kadang memang sulit. 

b. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, di banyak negara masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing ini masih menjadi soal yang sulit. 

c. Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada putusan – putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang telah diputus dibuang begitu saja, meski di dalam putusan tersebut mengandung argumentasi – argumentasi hukum para ahli – ahli hukum kenamaaan. 

d. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda dengan yang ada di setiap negara. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan keinginan para pihak. 

e. Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LLM ternyata arbitrase pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi terutama dalam hal arbitrase luar negeri. 

0 komentar:

Posting Komentar

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital