MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT SAMIN (SEDULUR SIKEP) DI GUNUNG KENDENG SUKOLILO, PATI JAWA TENGAH

B. Pembahasan 

1. Sejarah masyarakat Samin (Sedulur Sikep) 
Samin adalah salah satu suku yang berdiam di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pemukiman suku Samin ini berada di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati di Jawa Tengah, hingga Tuban di Jawa Timur. Selain di sebut Samin atau orang Samin, ada beberapa sebutan lain yang digunakan untuk merujuk pada para penganut Saminisme ini, seperti wong Samin (orang Samin), wong Sikep (orang Sikep), Sedulur Sikep ataupun orang Kalang. Untuk yang terakhir, lebih digunakan sebagai hinaan pada orang Samin, sebagai orang rimba atau orang hutan yang tak tahu sopan santun. 

Ada banyak hal yang cukup unik mengenai suku Samin ini, salah satunya bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Walau menggunakan bahasa Jawa, tapi dialek serta sistem bahasa mereka berbeda dengan yang ada di masyarakat Jawa pada umumnya. Demikian pula dengan tata cara berpakaian mereka. Mereka sering terlihat memakai pakaian serba hitam. Apalagi kaum Samin konservatif, yang tidak pernah memakai peci, celana jeans apalagi kaos oblong. 

Tapi yang paling unik adalah mengenai pandangan hidupnya. Orang Sikep sangat menjunjung tinggi kejujuran, welas asih, persaudaraan dan mencintai lingkungan hidup serta alam semesta. Dalam komunitas Sedulur Sikep, terutama bagi mereka yang konservatif, tidak ditemukan satu anggota komunitas pun yang berprofesi sebagai pedagang. 

Bagi mereka, perdagangan adalah pintu masuk bagi ketidak jujuran, keserakahan dan hedonisme Memang dalam perdagangan, dikenal dengan istilah laba atau keuntungan. Laba inilah yang nantinya menjadi tujuan bahkan sering orang menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi orang Samin. Laba adalah cerminan ketidak jujuran. Suatu hal yang sangat diharamkan dalam ajaran Saminisme. 

Suku Samin, yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, juga menolak menggunakan barang-barang elektronik. Mereka lebih memilih menggunakan kerbau untuk membajak sawah daripada traktor. Itulah mengapa kaum Samin sangat memuliakan alam. Kelestarian alam adalah berarti kelestarian kehidupan. Sedang kehancuran alam berarti juga hancurnya kehidupan mereka. 

Sejarah Samin tidak dapat dipisahkan dari sepak terjang Raden Kohar. Tokoh politik dan intelektual yang hidup pada masa penjajahan Belanda di abad 18 tersebut adalah tokoh kunci dalam penyebaran ajaran Saminisme. Pria yang terkenal karena keberpihakannya kepada wong cilik yang termajinalkan itu dengan berani melawan kolonialisme kulit putih, berkelana dari satu kota ke kota lain untuk mengajarkan sebuah metode baru dalam melakukan perlawanan. Raden Kohar sendiri sebenarnya masih keturunan bangsawan. Ia lahir pada tahun 1859 di Ploso, Kedhiren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Ia adalah putra dari Raden Surawijaya, atau yang oleh masyarakat Sedulur Sikep kemudian disebut dengan nama Samin Sepuh. Raden Kohar sendiri masih memiliki hubungan darah dengan Kyai Keti (seorang tokoh kenamaan yang cukup tersohor dari daerah Rajegwesi, Bojonegoro, Jawa Timur) dan Pangeran Kusumoningayu, penguasa daerah Sumoroto (sebuah daerah kuno yang kini masuk Kabupaten Tulungagung). 

Jika di Inggris memiliki seorang tokoh legendaris yang sarat mitos bernama Robin Hood (seorang kesatria bersenjata panah yang merampok orang-orang kaya dan membagikan hartanya pada orang miskin), maka di Jawa memiliki tokoh sejarah bernama Raden Kohar, putra Raden Surawijaya. Ia mengajak para begundal dari Rajegwesi untuk kemudian melakukan berbagai perampokan dan membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin. Simpati dan rasa kepedulian Raden Kohar pada kaum miskin memang begitu besar. Untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat (wong cilik), ia kemudian berganti nama menjadi Samin Surosentiko. Oleh beberapa pengikutnya, ia juga dipanggil dengan sebutan Kyai Samin. Kelak nama itulah yang menjadi sebutan bagi ajaran dan pengikut yang melestarikan ajarannya. 

Selain melakukan aksi heroik ala Robin Hood, Kyai Samin juga mengajarkan sebuah metode baru untuk melawan para penjajah kulit putih kepada rakyat jelata. Metode ini cukup unik, tapi pada akhirnya benar-benar mampu membuat pemerintah penjajah Belanda geram. Salah satu metode tersebut mengajak rakyat untuk tidak membayar pajak apapun kepada negara (Belanda) karena hanya akan memperkaya para pejabat saja. 

Mengenai kampanye boikot pajak ini, ada sebuah cerita unik. Suatu ketika, seorang pejabat pajak mencoba menarik pajak kepada seorang Sikep. Dengan enteng wong Samin itu mengambil uang dan bertanya “iki duwite sopo?” (ini uang siapa?). Ketika sang Pejabat pajak berkata “duwitmu” (uangmu), maka warga Sikep itu langsung memasukkan uang tersebut ke kantong kembali dan pergi ngeloyor begitu saja. 

Kyai Samin juga mengajarkan kesederhanaan dan hidup selaras dengan alam kepada para pengikutnya. Mereka mengatakan bahwa alam Jawa bukanlah milik penjajah. Untuk itulah banyak warga Samin yang membuat pusing Belanda, ketika mereka dengan seenaknya mengambil kayu dan ranting dari hutan-hutan jati yang dikelola pemerintah. Padahal orang Sikep hanya mengambil sebatas yang mereka butuhkan. Tidak pernah mereka menebang kayu untuk dijual kembali. 

Pada tahun 1890, Kyai Samin mulai menyebarkan ajarannya kepada rakyat di daerah Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah. Hanya dalam waktu singkat, Kyai Samin mulai memiliki banyak pengikut yang seluruhnya adalah petani miskin. Akibatnya Belanda mulai curiga. Kemudian, melalui para pejabat Desa dan antek-anteknya, Belanda melakukan teror terhadap para penganut Saminisme. Hal ini cukup membuat gerak Kyai Samin dan para pengikutnya tidak leluasa. 

Puncaknya, pada tahun 1907, Samin Surosentiko dan delapan orang pengikutnya ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Mereka kemudian dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Sejak saat itu, Samin Surosentiko tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke tanah Jawa, hingga akhirnya meninggal pada tahun 1914. 

Penangkapan Kyai Samin sendiri hanya berselang 40 hari sejak dirinya diangkat oleh para pengikutnya sebagai sang Ratu Adil (raja adil) dengan gelar Prabu Suryongalam. Penangkapan dan pembuangan prabu suryongalam tidak membuat para pengikutnya kapok. Mereka bahkan semakin bersemangat untuk menyebarkan ajaran Saminisme ke berbagai penjuru mata angin. 

Ajaran Saminisme pun berkembang pesat di kota-kota di daerah utara Pulau Jawa. Tetapi dua tempat, yakni Desa Klopodhuwur di Blora, dan Desa Tapelan di Bojonegoro, tetap menjadi pusat ajaran Saminisme. Beberapa kota yang memiliki komunitas Sedulur Sikep yang cukup banyak antara lain Kudus, Blora, Purwodadi, Sragen dan Pati di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, ajaran Saminisme juga sempat berkembang pesat di Bojonegoro, Ngawi, Madiun, dan Tuban di Provinsi Jawa Timur. 

Pada zaman dahulu, seorang panganut Saminisme dapat diketahui dengan jelas dengan hanya melihat pakaiannya. Orang-orang Samin, terutama Samin pada era awal, tidak pernah memakai peci. Sebagai gantinya mereka mengenakan udeng, semacam ikat kepala yang terbuat dari kain dan bermotif batik berwarna hitam. Udeng ini (orang Samin menyebutnya iket) adalah salah satu identitas khas yang dimiliki orang Samin. 

Selain memakai iket, bagi kaum lelaki Samin, juga memakai pakaian serba hitam, baik baju maupun celananya. Bajunya sendiri berupa baju lengan panjang tanpa kerah. Sedang celananya adalah celana pendek selutut (komprang). Sedang untuk wanita, pakaian adatnya adalah kebaya lengan panjang berkain (gaun) sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki. 

Bahan pakaian orang Samin sendiri terbuat dari kain keras yang bertekstur cenderung kasar. Kini sangat sedikit orang Samin, terutama dari generasi mudanya, yang melestarikan ciri khas ini. Generasi mudanya kini malah banyak yang sudah gemar memakai kaos oblong, jeans, hingga aksesori lainnya. 

Ketika pada zaman penjajahan Belanda dulu, orang Samin masih memegang kuat tradisinya. Ini membuat mereka mudah dikenali. Akibatnya Belanda dengan mudah menjadikan mereka sebagai sasaran teror dan penangkapan. 

Ajaran pokok orang Samin adalah kejujuran. Hal ini terlihat dari cara berpakaian mereka yang sederhana dan bersahaja. Selain itu kejujuran itu juga tampak dari bahasa yang digunakan seharai-hari. Pada dasarnya orang Samin menggunakan bahasa Jawa kawi yang bercampur dengan Jawa ngoko. 

Bagi kebanyakan orang Jawa, bahasa yang digunakan oleh orang Sikep ini cenderung kasar. Hal ini cukup bisa dimengerti, menginggat dalam struktur tata bahasa Jawa kawi yang digunakan oleh orang Sedulur Sikep, mereka tidak mengenal adanya tingkatan jenis bahasa. Sedang bahasa Jawa pada umumnya mengenal beberapa tingkatan bahasa, dengan berbagai tetek bengeknya yang jauh lebih ribet dari bahasa orang Samin. 

Walau begitu bukan berarti orang Samin adalah kaum yang tidak mengerti sopan santun. Mereka sebenarnya justru sangat halus, sopan dan ramah. Bagi mereka, cara menghargai orang lain dapat ditunjukkan melalui perbuatan, bukan bahasa. Jika bertamu ke rumah orang Sikep, biasanya orang luar akan langsung tercengang melihat bagaimana mereka sangat menghargai tamunya. Orang Sikep akan mengeluarkan semua makanan yang dipunyai untuk dihidangkan. Mereka juga tidak akan berbohong tentang apapun. 

Kejujuran orang Samin yang luar biasa itu akhirnya menimbulkan kesan bodoh atau dungu bagi sebagian orang non-Samin. Umpamanya, ketika ditanya berapa anaknya, maka setiap orang Samin selalu menJawab dua, yakni lelaki dan perempuan. Pun jika ditanya dari mana mau ke mana, orang Samin dengan lugu menjawab dari belakang mau maju ke depan. 

Bahkan istilah jual beli juga baru-baru ini saja mereka gunakan. Sebelumnya mereka menggunakan istilah ijol atau dalam bahasa Indonesia berarti tukar/barter. Bagi orang Samin, beli, jual atau ijol tidak ada bedanya. Hanya dalam beli atau jual, alat tukarnya selalu sama, yakni uang. Sedang dalam komunitas Samin, mereka lebih suka melakukan ijol tanpa perantara uang. 

Bahkan andaikata harus melakukan transaksi yang menggunakan uang, mereka juga sangat cermat dan hati-hati. Jika membeli barang seharga Rp 1.000 maka mereka akan menjualnya dengan harga yang tidak lebih dari itu. Sayangnya hal itu sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum non-Samin untuk meraup keuntungan. 

Banyak orang luar, terutama pada era orde baru, mengangap orang Samin adalah kaum barbar yang tidak beragama. Hal itu jelas-jelas merupakan fitnah keji. Sejak awal terbentuk, komunitas penganut ajaran Samin Surosentiko ini sudah memilliki agamanya sendiri, walaupun agama tersebut tidak masuk dalam enam agama yang diakui pemerintah. 

Bagi golongan tua kaum Samin, hingga kini agama yang mereka anut adalah agama yang sama yang dianut oleh orang Samin awal, yaitu agama Adam. agama Adam sendiri dikembangkan oleh pendiri gerakan Samin, yakni Kyai Samin, sebagai agama kaum Samin. Dalam agama Adam, nilai-nilai moralitas seperti kejujuran, welas asih, tangggung Jawab, dan menyayangi alam sangat ditekankan. 

Selayaknya agama yang lain, agama Adam juga memiliki kitab sucinya sendiri, yakni Kitab Jamus Kalimasada. Kitab ini kebanyakan berisi berbagai ajaran dan falsafah hidup yang tertulis dalam bentuk syair atau guritan. Dengan kitab itulah, orang Samin senantiasa menjaga semangatnya untuk terus patuh pada tradisi Saminisme yang menjunjung tinggi kejujuran. 

Ada beberapa orang yang mengatakan agama Adam ala orang Sikep ini merupakan kombinasi atau sinkretisme dari ajaran Hindu Jawa (berbeda dengan hindu bali, tetapi lebih mirip seperti yang dianut oleh orang kejawen/kebatinan Jawa) dan ajaran Buddha dan Islam. Sedang oleh beberapa peneliti yang berlatar belakang pendidikan berlabel liberalis, agama Adam dipandang sebagai agama bumi (lawan dari agama samawi/agama langit) yang berkaitan dengan kesuburan, pertanian dan tahayul. Mereka juga menyebut agama Adam sebagai sebuah aliran kepercayaan yang segolongan dengan aliran animisme dan dinamisme. Jelas orang Samin tidak bisa menerima itu semua. Bagi mereka, agama adalah agama Adam. Walau kini banyak juga generasi orang Samin yang mulai menganut islam atau Buddha. agama Adam sendiri mengajarkan untuk tidak membenci penganut agama lain. Itu mengapa orang Sikep tidak pernah bermusuhan dengan penganut agama lain, walau pemerintah dan pihak-pihak tertentu terus memaksakan beberapa agama resmi negara pada orang Samin. 


2. Mobilitas sosial di masyarakat Samin (Sedulur Sikep) 

Masyarakat Samin (sedulur sikep) adalah suku bangsa yang terletak di beberapa tempat. Dalam Kuliah Kerja Lapangan kali ini, penelitian ini difokuskan pada Sedulur Sikep di daerah Gunung Kendeng Pati, Jawa Tengah dengan narasumber utama Bapak Gunarto, keluarga, dan masyarakat diluar suku bangsa Samin dengan waktu penelitian pada tanggal 27 April 2013, data yang diperoleh merupakan data primer dengan metode penelitian kualitatif dengan cara diskusi seminar dan wawancara secara langsung kepada narasumber. Namun demikian kami juga menggunakan data sekunder. Data ini berupa sumber tertulis yaitu sumber diluar kata-kata dan tindakan yang dikategorikan sebagai sumber data kedua, namun tetap penting keberadaannya bagi upaya pengumpulan data penelitian. Sumber data tertulis dalam penelitian yang telah kami lakukan ini adalah buku-buku, dan sumber-sumber lainnya yang berkenaan dengan observasi ini. 

Masyrakat Sedulur Sikep walau dapat dikatakan sebagai sebuah suku bangsa yang unik dengan jumlah yang relatif kecil namun Sedulur Sikep memiliki banyak keistimewaan yang jarang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat sampai saat ini masih kental dengan pengetahuan bahwa Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, teisolir dan anti kemajuan. 

Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. 

Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata, sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. 

Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti. Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. 

Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita yang berjudul judul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemipinan Saminisme terbagai dalam dua tahap, yaitu Samin Sepuh dan Samin Anom. 

Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan. 

Masyarakat suku Samin (Sedulur Sikep) mengalami mobilitas sosial vertical dan horizontal. Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing) terjadi pada saat seseorang dari sedulur Sikep mampu melaksanakan dengan baik 4 pokok ajaran sedulur Sikep yang diterapkan dalam agama Adam yang mereka anut, antara lain: 
a. Tidak boleh bohong 
b. Tidak boleh mencuri 
c. Tidak boleh iri 
d. Tidak boleh bertengkar 

Sehingga orang yang mampu melaksanakan ke empat pokok ajaran itu akan lebih dihormati dan dituakan di dalam lingkungan Sikep walaupun sebelumnya bukan termasuk orang yang dihormati, dalam hal ini maka stratifikasi seseorang tersebut akan naik dan mencerminkan terjadinya mobilitas sosial naik. 

Masyarakat sedulur Sikep juga mengalami mobilitas sosial vertikal turun (social sinking) apabila seseorang tidak menjalankan ke empat pokok ajaran agama adam dan sudah dianggap bahwa ia keluar dari masyarakat sedulur sikep maka ia mengalami mobilitas sosial vertikal turun. Mobilitas sosial turun juga pernah terjadi ketika salah seorang masyarakat Sikep mengeluarkan diri sebagai bagian dari mereka, semisal ketika mereka pindah di tempat lain dan sudah tidak mengamalkan empat ajaran pokok sedulur sikep lagi maka, dia secara otomatis akan dikeluarkan dari bagian sedulur Sikep. 

Mobilitas sosial horizontal geografik sedulur Sikep terjadi disaat salah seorang sedulur Sikep bekerja di luar daerah kediaman Sedulur Sikep. Seperti seorang Sedulur Sikep yang bernama Ibu............., beliau termasuk salah satu Sedulur Sikep yang bertempat tinggal di Kudus. Dia pindah ke kota Kudus karena mengikuti suaminya yang berasal dari kota tersebut. Namun, dalam konteks ini, suami Ibu........... telah masuk menjadi bagian dari Sedulur Sikep, bukan beliau yang keluar, namun suaminya yang harus mengikuti ajaran dan budaya Sedulur Sikep. Menurutnya, dia masih merupakan bagian dari Sedulur Sikep walau pun dia berbeda tempat tingga namun dia selalu berusaha menjalankan empat ajaran agama Adam, agama yang dianut oleh semua Sedulur Sikep. 

Pada saat terjadi pernikahan, tempat tinggal anak yang sudah menikah yaitu mengikuti orang tua pihak perempuan (matrilokal) hingga pasangan baru tersebut memiliki tempat tinggal yang baru. Namun tidak jarang mereka tetap bertempat tinggal dalam satu rumah induk. 

Ketika salah seorang keluarga dari Sedulur Sikep meninggal dunia, mereka tidak pernah beranggapan bahwa keluarga mereka telah meninggal dunia. Ketika seorang suami yang ditinggal meninggal oleh istrinya saat ditanya dimana istrinya, dia akan menjawab bahwa istrinya sedang bekerja di sawah. Makam istrinya pun hanya berada di pekarangan rumah mereka. Peneliti pun terkejut ketika narasumber kami menyatakan bahwa halaman tempat kami diskusi saat ini merupakan bekas pemakaman, dan rumah kecil di samping depan halaman tersebut merupakan makam saudara mereka. Jadi mereka mengartikan jika salah satu dari mereka meninggal dunia, mereka hanya berpindah tempat saja. 

Mobilitas sosial antargenerasi masyarakat Sedulur Sikep tidak terlalu terlihat. Karena hampir semua Sedulur Sikep bermata pencaharian sebagai petani. Secara pendidikan pun mereka tidak ada yang menempuh pendidikan secara formal. Bagi mereka sekolah adalah belajar, sedangkan belajar bagi mereka adalah proses penanaman nilai-nilai dan orang tua menganggap nilai-nilai kehidupan tersebut cukup dipelajari langsung dari orang tua mereka. Orang tua juga percaya bahwa alam akan menjadi guru bagi mereka. Pembelajaran bagi mereka adalah cara bertahan hidup yaitu sebagai petani yang membuat mereka tidak perlu mempelajarinya di sekolah formal. Sehingga dilihat dari pekerjaan dan pendidikan tidak ada perbedaan yang menonjol antara orang tua dengan anakknya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Sedulur Sikep mengalami mobilitas sosial horizontal antargenerasi. 

Sedangkan mobilitas sosial intragenerasi Sedulur Sikep terjadi pada saat salah seorang sedulur Sikep dapat melaksanakan empat ajaran pokok agama Adam. Jika dai dapat melaksanakannya maka akan terjadi suatu pergerakan dimana dia akan dianggap sebagai sesepuh yang akan dihormati oleh masyarakat lainnya. 

Dalam mempertahankan budayanya, pergerakan Sedulur Sikep patut diacungi jempol. Mereka benar-benar kuat dalam berupaya mempertahankan kebudayaan yang selama ini mereka miliki. Seperti kecintaan mereka terhadap alam yang benar-benar mereka tunjukkan. Mereka berupaya untuk tetap melestarikan alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Sebagai bukti pergerakan mereka adalah saat peristiwa perlawanan mereka terhadap kaum kapitalis yang inigin menjadikan lahan pertanian mereka sebagai sebuah pabrik semen. 

Sekitar pertengahan 2008, PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian. 

Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan AJARAN SAMIN. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR. 

Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung. 

Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 kilometer selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, Minggu, 7 September 2008 lalu. 

Hasil pertemuan itu adalah: Sonny Keraf meminta kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat. 

Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah terjaga. 

Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai harian Kompas (9/7), mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. ”Dadi opo anak putuku kabeh setuju yen ono pembangunan pabrik semen (Jadi apa keturunanku semua setuju kalau ada pembangunan pabrik semen)?” kata Mbah Tarno. ”Mboten setuju banget (Sangat tidak setuju),” teriak warga yang memenuhi rumahnya. 

Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki “Makna Budaya Dan Sejarah Bagi Masyarakat Sedulur Sikep Yang Memiliki Ekologi Kultural Nya Sangat Berelasi Dengan Lingkungan (Gunung)”. 

Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya WATU PAYUNG yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng. 

Bukti perlawanan masyarakat Sikep terhadap kaum kapitalis yang dalam hal ini adalah pemilik modal pabrik semen Gresik terukir dengan adanya Rumah Kendeng yang dijadikan sebagai monumen sejarah masyarakat Sedulur Sikep. Di dalam rumah kendeng tersebut terdapat beberapa berita dan juga bukti-bukti lain yang menggambarkan perjuangan Sedulur Sikep dalam mempertahankan budayanya.

3 komentar:

Nahar Nafi 1 Februari 2014 pukul 05.29  

Thanks infone, informasi tambahan sebagai warga pati

sasongko 2 November 2014 pukul 08.43  

ketenangan hidup lebih berharga dari pada uang yang di iming2 pemodal besar, yang pada akhirnya akan merombak kultur budaya sekitarnya secara keseluruhan. hancur

Unknown 2 April 2015 pukul 19.43  

Untuk perkembangan suku samin (sedulur sikep) di era modern ini gimana ya gan, dan bagaimana sistem perpajakan mereka ? dan bagaimana kultur budaya mereka saat ini dalam mempertahankan ajaran leluhur mereka?

Posting Komentar

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital